PENAFAKTUAL.COM – Sengketa lahan antara warga dan perusahaan sawit di Desa Lamoen, Kecamatan Anggata, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), menelan korban.
Duana (38), seorang petani lokal, terkapar bersimbah darah setelah dibacok sejumlah orang yang diduga merupakan karyawan perusahaan sawit pada Jumat (6/6), tepat di Hari Raya Idul Adha.
Insiden kekerasan itu terjadi tak lama setelah Sholat Idul Adha, saat korban tengah menuju lahannya yang selama ini menjadi sumber konflik.
Menurut warga setempat, Habil Makora, korban hendak memantau kondisi lahannya yang diduga telah diserobot oleh perusahaan. Namun langkahnya terhenti oleh sekelompok orang bersenjata tajam.
“Korban dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif,” ungkap Habil kepada wartawan.
Ia menyebut luka bacok yang diderita Duana cukup serius, terutama di bagian perut, hingga menyebabkan pendarahan hebat.
Peristiwa ini bukan kejadian spontan. Konflik antara warga Desa Lamoen dan perusahaan sawit tersebut sudah berlangsung lama.
Perseteruan terjadi akibat klaim sepihak perusahaan atas lahan garapan warga. Warga merasa hak mereka dirampas, sementara perusahaan terus memperluas aktivitasnya tanpa pernah menunjukkan dokumen kepemilikan lahan secara sah.
Kecurigaan terhadap legalitas aktivitas perusahaan akhirnya dikonfirmasi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Sulawesi Tenggara pada 25 Februari 2025.
Dalam forum tersebut, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyampaikan secara terbuka bahwa perusahaan sawit yang beroperasi di wilayah Lamoen belum memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) maupun Hak Guna Usaha (HGU).
Pernyataan BPN tersebut menguatkan dugaan warga bahwa perusahaan telah melakukan aktivitas secara ilegal di atas lahan yang mereka klaim sebagai milik adat atau milik pribadi yang belum pernah dijual atau dialihkan.
Temuan itu juga diperkuat oleh pernyataan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman, menegaskan bahwa aktivitas perusahaan sawit tersebut melanggar ketentuan hukum.
“Undang-undang perkebunan dan pertanian menyebutkan setiap perusahaan wajib memiliki IUP dan HGU sebelum beraktivitas,” tegas Andi Rahman.
Walhi menilai kejadian pembacokan ini sebagai dampak langsung dari pembiaran negara terhadap aktivitas perusahaan tanpa izin yang terus beroperasi meski telah mendapat sorotan publik dan DPRD.
Pasca-pembacokan, warga Desa Lamoen yang murka atas tindakan brutal tersebut langsung mendatangi kantor kepolisian setempat.
Mereka melaporkan penganiayaan yang dialami Duana dan mendesak agar para pelaku segera ditangkap.
Warga juga meminta aparat penegak hukum untuk tidak hanya memproses pelaku kekerasan, tetapi juga menyelidiki pihak perusahaan yang selama ini diduga menjadi dalang di balik konflik lahan yang belum kunjung usai.
Mereka menganggap pembacokan ini bukan sekadar aksi kriminal biasa, melainkan bagian dari pola kekerasan struktural yang muncul akibat pembiaran aktivitas ilegal oleh korporasi.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan keterangan resmi. Sementara itu, pihak perusahaan belum dapat dihubungi untuk dimintai konfirmasi.(red)