PENAFAKTUAL.COM – Sulawesi Tenggara dilanda tiga tragedi kemanusiaan dalam satu bulan terakhir, memperlihatkan krisis sistemik dalam layanan publik dan perlindungan warga. Dua orang meninggal dunia, satu terluka parah, namun tanggung jawab negara nyaris tak terlihat.
Balita Meninggal di Mobil Pikap
Balita Laki-laki bernama La Sarian (4), warga Muna, meninggal dunia dalam perjalanan rujukan karena tidak mendapatkan ambulans layak. Ia merupakan Pasien Puskesmas Wakorumba Selatan (Wakorsel) yang hendak dirujuk ke Rumah Sakit LM Baharuddin di Raha melalaui akses pelabuhan Feri rute Pure-Lagasa Muna pada Sabtu (17/5) lalu.
Ia dipindahkan dengan mobil pikap tanpa alat medis atau pendamping. Padahal, Permenkes No. 31 Tahun 2019 menegaskan bahwa rujukan pasien kritis wajib dilakukan dengan sarana medis yang sesuai.
Sopir Luka Parah, Perawatan Tertunda
Dedi Wahyudin (54), sopir angkutan umum Kendari-Bombana, ditikam saat menolong orang di Terminal Baruga. Operasi daruratnya tertunda karena persoalan biaya, meski UU Perlindungan Saksi dan Korban serta Permenkes No. 16 Tahun 2022 menjamin bantuan medis gratis bagi korban kejahatan.
Fentanyl Hilang, Tak Ada Tindak Lanjut
Hilangnya Fentanyl—narkotika golongan II—dari salah satu faskes di Sultra tidak ditindaklanjuti secara transparan. Tak ada klarifikasi atau sanksi hingga kini, memperlihatkan lemahnya pengawasan terhadap zat berisiko tinggi.
BEM UHO Tuntut Tanggung Jawab
BEM Universitas Halu Oleo menuntut Gubernur Sultra mengevaluasi atau menonaktifkan sementara Kepala Dinas Kesehatan sampai audit tuntas, DPRD Sultra membentuk Pansus dan menggelar Rapat Dengar Pendapat Terbuka, serta audit menyeluruh terhadap sistem rujukan, penggunaan ambulans, dan layanan bagi korban kejahatan.
“Kami menuntut prioritas anggaran kesehatan darurat sesuai amanat UU No. 17 Tahun 2023. Ini bukan sekadar kegagalan prosedur, tapi kegagalan kemanusiaan,” kata Andika Syamsuri, Menteri Kesehatan BEM UHO.(red)








