PENAFAKTUAL.COM – Aliansi Pemuda dan Pelajar (AP2) Sulawesi Tenggara mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengaudit ulang proses pemberian asimilasi kepada narapidana kasus korupsi La Ode Gomberto. Desakan itu disampaikan menyusul kecurigaan adanya konflik kepentingan dan praktik kroniisme dalam proses pembebasan bersyarat eks tahanan KPK tersebut.
Ketua Umum AP2 Sultra, Fardin Nage, menyebut bahwa pemberian asimilasi kepada Gomberto yang baru menjalani hukuman satu tahun dari total tiga tahun vonis, sangat mencederai akal sehat publik.
“Pemberian asimilasi terhadap Andi Adriansyah yang juga ponakan Gubernur Sultra Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka, La Ode Gomberto dan juga Agus perlu ditinjau ulang,” ujarnya kepada awak media, Rabu, 29 Mei 2025..
Menurut Fardin, keputusan Ditjenpas Wilayah Sultra yang mengeluarkan Surat Keputusan asimilasi terhadap tiga narapidana tersebut tidak mencerminkan prinsip pembinaan yang sehat. Ia menilai ada kompromi terhadap kekuasaan dalam proses yang semestinya bebas dari kepentingan politik dan keluarga elit.
“Kami melihat bahwa keputusan ini tidak lahir dari prinsip pembinaan yang sehat, tetapi lebih sebagai bentuk kompromi terhadap kekuasaan. Ini adalah praktik kroniisme yang dibiarkan tumbuh di tubuh lembaga hukum,” katanya.
Gomberto sendiri diketahui menjalani asimilasi dengan bekerja di PT Mitra Pembangunan Sultra (MPS), perusahaan milik keponakannya yang dulu ia dirikan sendiri. Skema ini menuai sorotan karena dianggap hanya sebagai formalitas administratif yang memungkinkan eks napi kembali masuk ke jaringan bisnisnya.
“Pemberian asimilasi kepada terpidana semacam itu, tanpa transparansi dan akuntabilitas, menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih masih diperlakukan istimewa,” tegas Fardin.
Ia juga menyoroti dua napi lainnya yang disebut memiliki hubungan keluarga dengan elit daerah, dan terjerat kasus serius di sektor tambang. AP2 menganggap bahwa pemberian asimilasi terhadap mereka adalah pesan buruk bagi upaya penegakan hukum di Indonesia.
“Kasus mereka bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bagian dari skema jahat yang merusak tata kelola sumber daya alam kita. Pemberian asimilasi di tengah proses penegakan hukum mengirim pesan buruk bahwa hukum bisa ditekuk demi relasi kekuasaan,” tambahnya.
Fardin menyebut bahwa Undang-Undang Pemasyarakatan dan aturan turunannya seharusnya tidak memberi ruang longgar bagi napi korupsi dan kejahatan lingkungan untuk mendapatkan asimilasi secara mudah, apalagi jika prosesnya tidak transparan dan partisipatif.
“Asimilasi seharusnya menjadi wujud pembinaan yang berkeadilan, bukan instrumen untuk menyelamatkan elite yang sedang terjepit kasus hukum,” ujarnya lagi.
AP2 mendesak Ditjenpas Wilayah Sultra membuka seluruh dokumen dan proses evaluasi asimilasi secara terbuka. Jika terbukti ada pelanggaran atau penyimpangan, AP2 menuntut agar SK asimilasi dibatalkan dan pejabat yang terlibat diproses secara administratif dan etik.
“Kami tidak ingin Sultra menjadi contoh buruk bagaimana keadilan bisa dibeli dan hukum menjadi alat kompromi elite,” tutup Fardin.
Selain ke KPK, AP2 juga berencana mengajukan laporan resmi ke Komnas HAM dan Ombudsman RI agar kasus ini diawasi oleh lembaga independen di tingkat nasional. Mereka bahkan mengancam akan turun aksi dalam waktu dekat jika tidak ada peninjauan ulang dari pihak Ditjenpas.(red)