PENAFAKTUAL.COM, MUNA – Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Muna, Rasmin, mengecam keras dugaan praktik pungutan liar (Pungli) oleh oknum pegawai ASDP Lagasa-Pure terhadap pengguna jasa yang menyeberangkan alat berat jenis excavator pada Selasa, 11 Februari 2025 lalu.
Rasmin mengatakan bahwa jika pemilik alat berat tersebut telah membayar harga tiket dan biaya rekomendasi, maka seharusnya tidak ada lagi biaya-biaya lain yang mesti dikeluarkan.
“Itu kan sudah dia selesaikan kewajibannya, dia sudah bayar tiket dan biaya rekomendasi. Jadi seharusnya tidak boleh lagi ada biaya-biaya lain yang harus dibayar. Tapi kalau ada lagi yang harus dibayar, berarti itu sudah Pungli”, kata Rasmin.
Rasmin menegaskan bahwa praktik Pungli sangat tidak benar dilakukan meski dengan alasan dan dalih apapun.
Untuk itu, Rasmin meminta kepada pihak berwenang untuk segera melakukan evaluasi terhadap ASDP yang mengelola kapal Ferry rute Lagasa-Pure agar tindakan serupa tidak terjadi lagi.
Lebih lanjut, Rasmin menduga praktik Pungli di Pelabuhan Lagasa ini sudah berlangsung lama. Sebab, beberapa tahun lalu ia juga pernah menjadi korban dugaan Pungli saat menyeberangkan mobil truk bermuatan kusen bangunan.
“Waktu itu saya belum menjadi anggota DPRD, saya bawa kusen bangunan. Saya juga dimintai uang tambahan Rp1 juta. Padahal saya sudah beli tiket, dan muatan saya juga tidak Over Dimension & Over Load (ODOL). Tapi saat itu mereka (petugas pelabuhan) bersikeras, karena saya juga sudah malas berdebat akhirnya saya bayar juga uang tambahan Rp1 juta.
Politisi Partai Demokrat itu menyebut bahwa apabila tidak segera dilakukan evaluasi maka dugaan pungli di Pelabuhan Lagasa-Pure akan terus terjadi dan semakin banyak masyarakat yang akan menjadi korban.
“Ini harus segera dihentikan, tidak boleh lagi ada praktik-praktik Pungli seperti itu dimana pun”, tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, salah seorang pengguna jasa yang menyeberangkan alat berat jenis excavator, Hamsa, mengaku dimintai uang tambahan sebesar Rp4.000.000. Uang tambahan ini ditransfer ke rekening pribadi salah satu pegawai ASDP Lagasa inisial LAA.
Padahal, Hamsah telah membayar uang tiket sebesar Rp3.498.000 dan biaya rekomendasi Rp1.500.000.
“Kalau harga tiket saya bayar cash di loket, biaya rekomendasi saya bayar cash juga. Tapi setelah itu, kita diminta lagi uang tambahan Rp4 juta, itu saya trsanfer ke rekening pegawai ASDP”, kata Hamsah.
Sementara itu, Penanggung Jawab ASDP Lagasa, H Puji, berdalih bahwa biaya tambahan tersebut untuk membantu biaya operasional dan biaya pengurusan Surat Izin Berlayar di Syahbandar serta di Perhubungan.
“Di sini kan ada tiga instansi, ASDP yang kelola ferry dari Raha ke Pure terus pelabuhan itu dikelola Dinas Perhubungan, terus ada Syahbandar yang kasih izin keberangkatan kapal,” kata H Puji.
Ia juga menuturkan bahwa jika mengikuti aturan Kesyahbadandaran, untuk pemuatan alat berat harus sistem carter dengan biaya yang cukup mahal, sehingga pihaknya mengambil alternatif lain untuk membantu.
“Dalam Kesyahbadandaran masalah alat berat itu katanya aturannya harus carter pak, karena sejenis eksavator jumlah muatan di atas 20 ton, makanya dari Dinas Perhubungan dan Syahbandar membatu pak. Karena kalau carter itu kan biayanya membengkak pak, makanya dialternatif, disisipkan di reguler yang penting tidak menganggu kendaraan lain, kebetulan kemarin itu pemuatan bisa, kondisi penumpang tidak terlalu padat. Jadi dasarnya kami membatu pak dalam arti daripada carter biayanya kan kurang lebih Rp24 juta,” tutupnya.(hsn)