JAKARTA – Kasus perusakan hutan untuk tambang nikel di Desa Oko-oko, Kecamatan Pomala, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, menyisakan tanda tanya besar. Dua tahun sejak penetapan tersangka, hanya satu pelaku yang diadili, sementara satu lainnya seolah menghilang tanpa jejak.
Pada 13 November 2023, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan dua tersangka, yakni Direktur PT Anugrah Group, Lukman, dan Komisaris perusahaan, Anugrah Anca. Penetapan itu diumumkan langsung oleh Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani, dalam konferensi pers di Kendari.
Rasio menegaskan bahwa kedua tersangka dijerat pasal berlapis dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar, karena melakukan kegiatan penambangan di kawasan hutan tanpa izin.
“Penegakan hukum berlapis kami lakukan untuk menimbulkan efek jera. Kami tidak ingin kejahatan lingkungan seperti ini terus berulang,” tegas Rasio.
Namun, proses hukum kasus ini berjalan timpang. Hanya Lukman yang akhirnya diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp2 miliar. Sementara itu, Anugrah Anca seolah menghilang tanpa jejak.
Publik mempertanyakan ketimpangan penegakan hukum dalam kasus ini. Mengapa hanya satu tersangka yang diproses hingga vonis? Ke mana Anugrah Anca? Padahal, keduanya diumumkan bersama sebagai tersangka dengan bukti dan status hukum yang sepadan.
Kasus ini menimbulkan keraguan terhadap efektivitas penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam kasus-kasus lingkungan hidup. Apakah penegakan hukum hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan uang? Ataukah ada upaya sistematis untuk melindungi oknum-oknum yang berkuasa? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.(red)

 
 






 
  
  
  
  
 