PENAFAKTUAL.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa Wakil Menteri (Wamen) adalah pejabat negara dan dilarang merangkap jabatan. Pernyataan ini disampaikan oleh Hakim MK, Enny Nurbaningsih, saat sidang lanjutan uji materil Undang-Undang (UU) Advokat di Gedung MKRI, Selasa, 3 Juni 2025.
Dalam sidang tersebut, Enny Nurbaningsih menyikapi keterangan perwakilan pemerintah yang menyebut jabatan Wamen bukan merupakan pejabat negara. Namun, Enny menegaskan bahwa dalam putusan MK Nomor 80 Tahun 2019, jabatan Wamen merupakan bagian dari pejabat negara dan dilarang merangkap jabatan.
“Terhadap fakta demikian, sekalipun wakil menteri membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian, oleh karena pengangkatan menteri dan wakil menteri hak prerogatif presiden, maka wakil menteri harus ditempatkan pula sebagai pejabat, sebagaimana status yang diberikan kepada menteri,” ucap Enny.
Dengan status demikian, Enny berharap pengangkatan Wamen ke depannya mesti disamakan statusnya antara kedudukan menteri dan Wamen sebagai pejabat negara, serta larangan yang melekat kepada menteri juga berlaku ke Wamen.
Uji Materil UU Advokat yang diajukkan Andre Dermawan, pengacara kondang yang berasal dari Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) ini berawal dari pengangkatan Otto Hasibuan sebagai Wakil Menteri (Wamen) Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
Otto Hasibuan diangkat oleh Presiden Prabowo Subianto untuk menduduki jabatan Wamen Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI tertanggal 21 Oktober 2024.
Pengangkatan Otto Hasibuan, kemudian memicu perdebatan dikalangan profesi advokat. Sebab, disaat bersamaan, Otto Hasibuan masih menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi untuk periode 2020-2025.
“Merangkap jabatan negara, membuat organisasi advokat tidak bebas dan mandiri, karena ada intervensi kekuasaan pemerintahan dalam organisasi advokat, dan cenderung akan didominasi kelompok advokat tertentu,” kata Andre.
Andre mencontohkan, saat Otto Hasibuan memimpin Rakernas DPN Peradi di Bali sebulan setelah diangkat jadi Wamen, Otto Hasibuan mendesak Mahkamah Agung (MA) mencabut Surat Edaran MA Nomor 73 tahun 2015 tentang Penyumpahan Advokat.
Selain itu, Otto menyarankan agar semua advokat yang telah disumpah bergabung ke organisasi Peradi serta meminta MA hanya melakukan penyumpahan terhadap calon advokat yang diusulkan Peradi.
Menurut Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Sultra ini, rekomendasi yang disampaikan Otto Hasibuan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Peradi tidak dapat dipisahkan dari kapasitasnya saat ini sebagai wamen.
Sehingga ia mengatakan, rekomendasi tersebut dapat saja dimaknai sebagai rekomendasi dari Kementerian Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
“Rekomendasi ini bertentangan dengan kondisi faktual saat ini terkait banyaknya organisasi advokat yang secara de facto ada melaksanakan tugas dan fungsi organisasi advokat,” katanya.
Selain itu juga, lanjut Andre, bahwa rekom Peradi kepada MA tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 112/PUU-XII/2014 yang menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD NKRI 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Tinggi atas perintah UU wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi yang secara de facto ada yaitu Peradi dan KAI.
Ia pun menilai, justru tindakan Otto Hasibuan ada upaya melemahkan kelompok organisasi advokat lainnya, dengan rekomendasi yang disampaikan ke MA.
Hal inilah yang kemudian ia tolak dengan mengajukan pengujian materil terhadap UU Advokat dengan harapan, ada pasal yang mengantur pimpinan organisasi advokat tidak boleh merangkap jabatan negara.
Sebab alasan lainnya, akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest), karena tidak bisa memisahkan antara kepentingan individu atau kelompok organisasi dengan kepentingan tugas jabatannya sebagai pejabat negara.
“Bahkan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengabaikan putusan Mahkamah untuk kepentingan individu atau kelompok organisasi dan ke depan dapat dipastikan Prof. Dr. Otto Hasibuan SH, MH dalam kapasitasnya Wakil Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan,” pungkasnya.(red)








