PENAFAKTUAL.COM, KENDARI – Nama mantan Pj Bupati Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), Burhanuddin, ikut terseret atau terlibat dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Jembatan Cirauci II Buton Utara (Butur) tahun anggaran 2021.
Keterlibatan Burhanuddin, yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala Dinas (kadis) Sumber Daya Air (SDA) dan Bina Marga Provinsi Sultra, terkuak dalam surat dakwaan dua terdakwa Rahmat dan Terang Ukoras Sembiring.
Dalam surat dakwaan nomor PDS-05/RP-9/P.313/Ft.1/02/2024 dan PDS-4/RP-9/P.3.13/Ft.1/02/2024, tertanggal 24 Maret 2024 yang ditandatangani Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Muna, Musrin itu diterangkan bagaimana kronologis terjadinya dugaan korupsi yang melibatkan Burhanuddin, hingga menimbulkan kerugian negara.
Diterangkan, tahun 2021, Pemprov Sultra mengalokasikan anggaran pembangunan Jembatan Cirauci II Butur sebesar Rp2,1 miliar, yang dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) melekat di Dinas SDA dan Bina Marga Sultra.
Dalam prosesnya, Dinas SDA dan Bina Marga Sultra meminta Biro Pengadaan Barang dan Jasa untuk melakukan proses lelang. Dari 46 perusahaan yang mendaftar, hanya empat perusahaan yang dianggap memenuhi kualifikasi termasuk CV Bela Anoa.
Berdasarkan syarat teknis yang ditentukan dalam dokumen lelang, maka calon penyedia jasa harus mempunyai kemampuan menyediakan peralatan utama, dalam melaksanakan pekerjaan (terlampir dalam surat dakwaan).
Terdakwa Terang Ukoras Sambiring yang menyadari tidak memiliki peralatan yang dimaksud, lalu melakukan perjanjian tertulis dengan beberapa pemilik alat untuk perihal sewa menyewa alat, dan menggunakan dokumen perjanjian itu sebagai kelengkapan untuk memenuhi syarat teknis dalam proses lelang. Tetapi belakangan diketahui, CV Bela Anoa dalam pelaksanaannya tidak memiliki peralatan-peralatan seperti yang dimasukkan dalam dokumen syarat teknis.
“Perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,” tulis dalam surat dakwaan terdakwa.
Mengetahui CV Bela Anoa sebagai calon rekanannya yang berpotensi menang lelang, tetapi tidak memiliki alat-alat utama untuk melaksanakan pekerjaan, terdakwa Rahmat (peminjam bendera perusahaan) menghubungi rekannya bernama Ono dan terdakwa Terang Ukoras Sambiring.
Ketiganya bertemu disalah satu warkop di Kota Kendari pada Mei 2021, dengan maksud membahas soal pekerjaan Jembatan Cirauci II yang akan dikerjakan terdakwa Rahmat dengan menggunakan perusahaan CV Bela Anoa. Atas rencana itu, terdakwa Terang Ukoras Sambiring menyerahkan semua tanggung jawab ke terdakwa Rahmat.
Padahal, terdakwa Terang Ukoras Sambiring mengetahui dan dapat memastikan bahwa terdakwa Rahmat bukanlah penyedia jasa spesial jembatan, dan juga pengalihan pekerjaan dilakukan tanpa persetujuan Dinas SDA dan Bina Marga.
“Perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,” isi dalam surat dakwaan.
Hingga pada akhirnya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas SDA dan Bina Marga Sultra menerbitkan surat penunjukan penyedia barang/jasa (SPPBJ), dan dilakukan penandatanganan kontrak pada 21 Mei 2021 dengan CV Bela Anoa.
Tapi ternyata terdakwa Direktur CV Bela Anoa mengarahkan terdakwa Rahmat untuk tampil menandatangani kontrak. Padahal, terdakwa juga mengetahui jika terdakwa Rahmat bukan pegawai atau pengurus CV Bela Anoa. Hal ini tentu bertentangan dengan Permen PUPR Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi.
Setelah dinyatakan CV Bela Anoa jadi pemenang tender, Rahmat dan Terang bersama-sama menyediakan kelengkapan dokumen jaminan uang muka 30 persen sebesar Rp612 juta melalui surat permohonan ke PPK pada 24 Juni 2021.
Atas dasar itu saksi Burhanuddin selaku Kepala Dinas SDA dan Bina Marga merangkap Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan PPK memproses dan membayar uang muka 30 persen melalui BPD Sultra yang ditransfer ke rekening CV Bela Anoa. Terdakwa Rahmat kemudian memberikan fee perusahaan kepada terdakwa Terang senilai Rp50 juta dari sisa pencairan uang muka, setelah potong pajak.
Namun belakangan, uang muka yang dicairkan tersebut, tidak diperuntukkan untuk persiapan pembangunan Jembatan Cirauci II Butur, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi. Akibatnya membuat pekerjaan terlambat yang mestinya ditargetkan mencapai 76,06 persen dari rencana awal, hanya 2,40 persen.
Diketahui bobot pengerjaan hanya 2,40 persen, CV Bela Anoa mendapat teguran selama tiga kali berturut-turut dari saksi Burhanuddin, dan melakukan rapat pembuktian sebanyak tiga kali untuk penyelesaian keterlambatan. Adapun alasan keterlambatan pengerjaan Jembatan Cirauci II Butur, dikarenakan peralatan yang kurang, pengambilan sampel lambat, kondisi cuaca dan lain sebagainya (terlampir), sehingga menyebabkan keterlambatan terus menerus.
“Berdasarkan syarat-syarat umum kontrak, dinyatakan kritis apabila dalam periode I, selisih pelaksanaan dengan rencana lebih besar 10 persen, penyedia jasa telah gagal pada uji coba ke-3. Seharusnya saksi Burhanuddin selaku PPK menerbitkan peringatan kontrak kritis III, dan dapat melakukan pemutusan kontrak secara sepihak, namun itu tidak dilakukannya (Saksi Burhanuddin),” penjelasan yang dikutip dari surat dakwaan.
Selanjutnya, jelang berakhirnya kontrak pekerjaan Jembatan Cirauci II Butur pada 17 Oktober 2021, terdakwa Terang ajukan permohonan perpanjangan pelaksanaan pekerjaan selama 57 hari kalender, terhitung sampai 13 Desember 2021.
Saksi Burhanuddin lalu memerintahkan panitia peneliti pelaksanaan kontrak untuk melaksanakan evaluasi. Berdasarkan hasil evaluasi panitia, addendum kontrak atau perpanjangan pelaksanaan pekerjaan ditandatangani saksi Burhanuddin.
Tetapi lagi-lagi, hingga masa berakhirnya perpanjangan 57 kalender juga tidak dapat diselesaikan, dan progres volume fisik pekerjaan masih sama dengan sebelum dilakukan addendum kontrak. Dan kembali dilakukan pengecekan ulang bobot pekerjaan hasilnya hanya sebesar 2,23 persen, dari rencana 100 persen.
Dengan berkenaan CV Bela Anoa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan, maka saksi Burhanuddin memutus kontrak dan meminta klaim jaminan pencairan sebesar Rp102 juta, ditujukkan ke PT Asuransi Rama Satria Wibawa agar disetorkan ke kas umum daerah Pemprov Sultra.
Namun, ternyata permintaan pencairan tersebut tidak dipenuhi, melainkan ditanggapi dengan surat, yang isinya surat teguran CV Bela Anoa dari Dinas SDA dan Bina Marga belum diterima PT Asuransi Rama Satria Wibawa, dan surat dianggap kadaluarsa sehingga pengajuan klaim CV Bela Anoa tidak ditindaklanjuti karena tidak prosedural.
Perbuatan kedua terdakwa pun, dianggap telah merugikan keuangan negara sebesar Rp647 juta, sebagaimana laporan hasil audit perhitungan kerugian negara oleh auditor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra tertanggal 14 Januari 2024.
Dengan demikian dalam dakwan primair disebutkan perbuatan terdakwa Terang Ukoras Sembiring bersama-sama dengan terdakwa Rahmat dan saksi Burhanuddin sebagaimana tersebut diatas, diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sementara dakwaan subsidair, menyebut terdakwa Terang Ukoras Sembiring bersama-sama dengan terdakwa Rahmat dan saksi Burhanuddin sebagaimana disebutkan dalam dakwaan primair diatas, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan perbuatan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara.
Diketahui, perkara korupsi Jembatan Cirauci II Butur, sementara dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Kota Kendari. Sejumlah saksi, termasuk mantan Pj Bupati Bombana sekaligus mantan Kadis SDA dan Bina Marga Sultra, Burhanuddin sudah dihadirkan dalam sidang beberapa waktu lalu.(hus)