PENAFAKTUAL.COM, KENDARI – Ketua DPD Partai Gerindra Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Ady Aksar maju di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024, dengan status tersangka dugaan tindak pidana penggelapan dana perusahaan PT Kabaena Kromit Pratama (KKP).
Andi Ady Aksar Bacaleg Dapil VI meliputi Kabupaten Konawe, Konawe Utara (Konut), dan Konawe Kepualuan (Konkep) itu, sebelumnya dilaporkan Komisaris PT KKP di Polresta Kendari akhir tahun 2022 kemarin.
Penyidik Reserse Kriminal (Reskrim) Polresta Kendari menetapkan Andi Ady Aksar tersangka dugaan tindak pidana penggelapan dana setelah melalui tahap penyelidikan hingga penyidikan. Sehingga, Andi Ady Aksar kini, tercatat satu-satunya Bacaleg DPRD Provinsi Sultra yang maju dengan status tersangka.
Pengamat politik asal Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Najib Husein mengatakan, bagi politisi yang tengah diperhadapkan masalah hukum yang sifatnya belum inkrah, itu dibolehkan untuk maju pileg.
Beda halnya, kalau yang sudah berstatus mantan narapidana atau pernah menjalani masa hukuman berdasarkan putusan pengadilan tidak boleh ikut pileg sebelum lima tahun setelah masa tahanan selesai.
“Untuk yang kasus sementara berproses hukum ya memang ada sebuah kesepakatan, bahwa sebelum berstatus hukum tetap, maka pencalonannya masih tetap dilanjutkan,” kata dia kepada awak media ini, Senin, 16 Oktober 2023 lalu.
Tetapi kata Najib Husein, perihal bacaleg yang berstatus tersangka, tentu kembali lagi ke partai masing-masing dibolehkan atau tidak. Hanya saja, internal partai mesti lebih selektif dan berfikir untuk bagaimana masa depan dan peluang partai politiknya untuk merebut kursi.
Idealnya, partai politik bersangkutan harus memberikan ruang bagi kadernya yang sedang berproses masalah hukumnya, untuk lebih fokus menyelesaikan kasus agar tidak membenani kader lainnya yang tengah berupaya mendapatkan kursi legislatif.
“Jadi intinya pada keputusan partai, dan para kader yang berkasus untuk fokus menyelesaikan persoalannya supaya tidak menjadi beban partai politik. Jadi memang harus dipertimbangkan secara matang, karena proses hukum sewaktu-waktu akan berposes. Partai politik lebih bijaksana untuk tidak memaksa partai mengeluarkan energinya lebih banyak hanya untuk satu kader,” jelasnya.
Rancunya lagi, tambah dia, terbitnya Surat Telegram (ST) Nomor: ST/1160 RES.1.24.2023 yang ditujukan kepada seluruh Kapolda se-Indonesia. Yang mana isi dari ST tersebut, menginstruksikan agar menunda proses hukum tindak pidana yang melibatkan peserta Pemilu 2024 dengan alasan menjaga netralitas.
Bagi Najib Husein, ST Kapolri itu justru merugikan partai politik dan kader. Partai politik seharusnya lebih proaktif dan memberikan kejelasan hukum terhadap kader yang sedang berkasus.
Misal dia contohkan, kader maju pileg, disaat bersamaan yang bersangkutan tengah berproses hukum. Kemudian terpilih, dan tiba-tiba kasusnya inkrah. Tentunya yang dirugikan kader tersebut karena harus digantikan oleh caleg pemilik suara urutan kedua.
“Semua kembali pada putusan partai, partai tetap harus jalan, proses hukum kader juga harus tetap jalan. Semua harus jalan supaya tujuan partai bisa tercapai,” tukasnya.(**)