Oleh: La Ode Inta
Mantan Ketua MPM Universitas Halu Oleo (UHO) tahun 2018
Di sebuah sudut kota yang lusuh, baliho raksasa berdiri tegak. Wajah tersenyum lebar terpampang di sana, dengan slogan yang menjanjikan sebuah perubahan, menjanjikan sebuah harapan-harapan. “Membangun dengan hati,” konon katanya begitu. Tapi di balik senyum dan slogan itu, ada sebuah pesan yang tersirat. Yakni Sebuah cerita soal cost politic (ongkos politik) yang tak tertulis di spanduk, yah biaya politik.
Menjadi kepala daerah bukan lagi sekadar tentang niat membangun, niat untuk mensejahterakan rakyatnya tapi soal modal untuk berperang di arena percaturan demokrasi yang mahal. Seorang kandidat harus mempersiapkan dana untuk iklan, logistik, tim sukses, lembaga survei, bahkan biaya silaturahmi politik sekalipun. Angkanya? Tidak main main. Bahkan Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan, bahwa untuk menjadi bupati atau wali kota, dibutuhkan dana sekitar Rp20–30 miliar bahkan sekelas kandidat Gubernur bisa lebih dari itu.
Padahal, gaji seorang kepala daerah tak seberapa, tak sebanding pengeluaran tersebut. Lalu, dari mana kekurangan itu akan ditutupi?
Nah, Di sinilah kisah gelap mata kandidat menggalang Cukong (donatur) politik dengan proposal tak tertulis tapi wajib bayar. Mereka bukan menyumbang, akan tetapi mereka berinvestasi. Dan layaknya mereka seperti semua investor, yaitu menuntut laba jika terpilih di kemudian hari. Setelah sang calon menang maka pintu-pintu proyek dibuka lebar, izin usaha dikawal, kebijakan dijahit sesuai kepentingannya bahkan mengorbankan rakyatnya sekalipun ia tak berdaya untuk membelanya.
Maka lahirlah apa yang disebut dengan “politik balas budi” bukan pada rakyat, akan tetapi pada penyokong capital (dana). Dalam sistem seperti ini, kepala daerah bukan lagi pemimpin, melainkan sandera dari kesepakatan gelap yang ia buat sebelum dilantik.
Tak sedikit yang akhirnya terjerat. Laporan KPK menunjukkan, mayoritas kasus korupsi yang ditangani berasal dari kepala daerah. Misalnya saja OTT gubernur Riau dan kawan-kawannya, dan OTT bupati Ponorogo dan anak buahnya. Yah, masih hangat sekali beritanya karena memang mereka baru seumur jagung dalam mempin daerahnya mereka berkompetisi pada perhelatan pilkada 2024. Yah, semua modusnya yaitu suap proyek, jual beli jabatan, hingga penyalahgunaan anggaran. Jadi, jeruji besi menjadi akhir dari ambisi yang dibangun di atas utang politik.
Tapi ini bukan hanya soal individu yang salah langkah. Ini adalah tentang sistem yang membiarkan kekuasaan dijalankan seperti bisnis to bisnis. Oleh karena itu, demokrasi yang mahal justru mengasingkan mereka yang jujur, mengasingkan mereka yang peduli dengan rakyat dan bahkan cenderung memberi ruang bagi mereka yang punya modal dan sumberdaya.
Lalu, siapa yang harus dirubah?
Apakah para calon pemimpin? Ya. Tapi tak hanya mereka saja. Akan tetapi, partai politik harus mengevaluasi dirinya dengan mengubah paradigma rekrutmen. Jangan hanya menomor satukan mereka yang punya capital (dana) tempur.
Maka dari itu, negara harus hadir. Biaya kampanye bisa dikontrol melalui pembiayaan negara yang adil, jujur dan transparan. Sistem audit kampanye harus diperkuat, dan penegakan hukum tak pandang bulu.
Jadi pesan terpentingnya ialah rakyat harus cerdas memilih. Jangan lagi menganggap politik uang sebagai hal biasa dan menjadi tradisi jual beli. Sebab, uang yang diterima hari ini, bisa berubah jadi kebijakan yang tak menyenangkan rakyat bahkan cenderung tidak adil dalam implementasi nya.
Pada akhir kesimpulannya ada 5 poin yang mesti di perhatikan
Transparansi dan batasan dana kampanye yakni negara wajib mengatur batas dana kampanye dan mewajibkan laporan keuangan terbuka dari setiap calon atau kandidat.
Subsidi biaya kampanye resmi yakni negara bisa membantu membiayai kampanye melalui dana APBN dengan pengawasan ketat, agar para kandidat tidak bergantung pada cukong (donatur) politik.
Pendidikan politik bagi rakyat yaitu dengan edukasi pemilih agar sadar bahwa memilih karena uang berarti menyerahkan masa depan pada sebuah kebohongan.
Reformasi partai politik yaitu rekrutmen kader harus berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan pada siapa yang punya kemampuan siap bayar.
Negara memperkuat partai politik dengan memberikan ruang untuk mengelola badan usaha /PT sehingga partai punya kemandirian keuangan dan partai focus pengkaderan generasi penerus bangsa dan pemberdayaan kader partai dan sekaligus merawat konstituennya.
Bila tidak ada perubahan, maka demokrasi kita akan terus menjadi panggung sandiwara. Di mana kepala daerah tampil meyakinkan di depan rakyat, tapi menunduk tak berdaya di hadapan para penyandang capital (dana). Dan pada akhirnya, jeruji bukan lagi tempat hukuman akan tetapi bagaikan bayang-bayang yang terus mengikuti pemimpin kita dalam artian salah langkah maka menjadi gawat jeruji yang membayangi pemimpin kita.**)









