Menu

Mode Gelap
Tiga Napi Korupsi di Sultra Dapat Asimilasi dari Pihak Ketiga, Salah Satunya Keponakan Gubernur Dari Kebun ke Gerbang Masa Depan: Menghadapi Cemohan dan Mencapai Impian Ridwan Bae: PT SCM dan Perkebunan Sawit Penyebab Banjir di Jalur Trans Sulawesi Korban Tenggelam di Pantai Nambo Ditemukan Meninggal Dunia Pembentukan Kaswara: Langkah Awal Kolaborasi Alumni SMP Waara

Opini · 22 Okt 2025 08:42 WITA ·

Di Balik Angka-angka Indah: Benarkah Kemiskinan di Kendari Sudah Teratasi?


 Rusnawati Perbesar

Rusnawati

Oleh : Rusnawati
(Pemerhati Masalah Umat)

Wali Kota Kendari baru-baru ini mengumumkan berbagai capaian pembangunan di tahun 2025. Angka kemiskinan yang turun dari 4,23% menjadi 4,18%, pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari 3% menjadi lebih dari 4%, serta berbagai program bantuan seperti renovasi 500 rumah dan pembangunan Sekolah Rakyat dijadikan bukti keberhasilan pemerintah daerah. Kendari bahkan diklaim sebagai kota dengan tingkat kemiskinan terendah di Sulawesi Tenggara. (https://www.detik.com/sulsel, 6/10/2025). Di balik angka-angka yang terlihat membanggakan ini, perlu dikaji lebih mendalam: apakah ini solusi sejati ataukah sekadar tambal sulam sistemik yang tidak menyentuh akar permasalahan?

Fakta di Balik Angka

Penurunan angka kemiskinan sebesar 0,05% tentu patut diapresiasi, namun angka ini perlu dilihat secara kritis. Pertama, penurunan yang sangat marginal ini menunjukkan bahwa upaya pengentasan kemiskinan masih berjalan sangat lambat. Kedua, pertumbuhan ekonomi 4% yang disebutkan tidak secara otomatis mencerminkan peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama jika pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir pelaku usaha besar dan tidak terdistribusi secara merata kepada rakyat kecil.

Program Gerakan Pangan Murah (GPM) yang telah dilaksanakan 78 kali sejak awal 2025 memang memberikan bantuan sementara bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, program ini sejatinya hanya bersifat temporer dan tidak menyelesaikan problem struktural yang membuat masyarakat bergantung pada subsidi. Harga beras SPHP Rp 62.500 per 5 kilogram atau sekitar Rp 12.500 per kilogram memang lebih murah dari harga pasar, tetapi ini tetap membutuhkan anggaran negara yang besar dan tidak berkelanjutan tanpa perubahan sistem ekonomi yang mendasar.

Renovasi rumah untuk masyarakat kurang mampu dan pembangunan Sekolah Rakyat adalah program yang baik secara kasat mata. Namun, bantuan seperti ini tidak akan pernah menuntaskan kemiskinan jika sistem ekonomi yang menghasilkan kesenjangan terus dibiarkan berjalan. Program-program karitatif semacam ini hanya mengobati gejala, bukan menyembuhkan penyakitnya.

Analisis Sistemik

Persoalan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di Kendari, seperti di daerah lain di Indonesia, adalah produk dari sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pelayan utama yang menjamin kebutuhan dasar rakyat. Sumber daya alam dan aset strategis dikuasai oleh swasta dan korporasi, sehingga keuntungan ekonomi hanya mengalir ke segelintir pihak. Rakyat kecil hanya menjadi penonton atau, dalam kasus terbaik, penerima sisa-sisa kemakmuran melalui program bantuan sosial.

Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan sering kali tidak diikuti dengan pemerataan. Indikator seperti GINI ratio dan ketimpangan pendapatan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di era kapitalisme cenderung memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Kota Kendari mungkin mencatat pertumbuhan ekonomi 4%, tetapi jika pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh para pengusaha besar, developer properti, atau investor asing, maka rakyat kecil tetap hidup dalam kemiskinan struktural.

Program seperti GPM pun mencerminkan kegagalan negara dalam mengelola ekonomi secara mandiri. Ketergantungan pada subsidi dan bantuan sosial menunjukkan bahwa negara tidak mampu menciptakan sistem yang membuat rakyat sejahtera secara alami. Bahkan untuk kebutuhan pokok seperti beras, rakyat harus mengandalkan subsidi yang dananya berasal dari utang negara atau pajak yang juga dibayar oleh rakyat sendiri. Ini adalah lingkaran setan yang tidak akan pernah berakhir selama sistem ekonomi kapitalisme masih diterapkan.

Solusi Menurut Pandangan Islam

Dalam perspektif Islam, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi bukanlah takdir yang harus diterima, melainkan akibat dari penerapan sistem yang keliru. Islam memiliki sistem ekonomi yang komprehensif dan berbeda secara fundamental dengan kapitalisme. Dalam sistem ekonomi Islam, negara memiliki peran sentral sebagai pengurus urusan rakyat (ra’in) yang bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu.

Pertama, Islam menetapkan bahwa kepemilikan umum seperti hutan, tambang, sumber air, dan energi tidak boleh diprivatisasi. Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Dalam konteks modern, ini berarti sumber daya alam strategis harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bukan diserahkan kepada korporasi swasta atau asing.

Kedua, negara dalam sistem islam memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Ini bukan dalam bentuk bantuan sosial yang bersifat karitatif dan sporadis, tetapi sebagai hak yang harus dipenuhi secara sistemik. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Jika ada seekor keledai tergelincir di tepi sungai Eufrat, aku khawatir Allah akan meminta pertanggungjawabanku mengapa aku tidak memperbaiki jalan untuknya.” Ini menunjukkan betapa seriusnya tanggung jawab pemimpin dalam Islam terhadap rakyatnya.

Ketiga, sistem perpajakan dalam Islam sangat berbeda dengan kapitalisme. Zakat, misalnya, bukan pajak dalam pengertian konvensional, tetapi kewajiban yang dibebankan kepada orang kaya untuk disalurkan kepada delapan golongan yang berhak, termasuk fakir miskin. Zakat bersifat redistribusi kekayaan secara langsung dari yang kaya kepada yang miskin, tanpa birokrasi yang berbelit dan tanpa korupsi yang merugikan rakyat.

Keempat, Islam melarang riba dan spekulasi yang menjadi ruh dari sistem ekonomi kapitalisme. Riba menciptakan ketergantungan dan memperbudak rakyat dalam lingkaran utang yang tidak pernah selesai. Dalam sistem Islam, ekonomi dibangun di atas transaksi riil yang adil dan produktif, bukan di atas bunga dan spekulasi yang merugikan.

Capaian yang diumumkan oleh Wali Kota Kendari mungkin terlihat baik di atas kertas, tetapi sejatinya hanya menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme dalam mengatasi problem kemiskinan dan kesenjangan. Program-program bantuan sosial dan subsidi hanya mengobati gejala, bukan menyelesaikan akar masalah. Selama sistem ekonomi kapitalisme masih diterapkan, kemiskinan dan kesenjangan akan terus menjadi realitas yang tidak terhindarkan.

Islam, melalui sistem Khilafah yang pernah terbukti selama 13 abad, menawarkan solusi yang komprehensif dan adil. Negara yang mengelola sumber daya untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elite dan korporasi, adalah kunci dari kesejahteraan sejati. Sudah saatnya umat Islam memahami bahwa solusi sejati bagi problem kemiskinan dan kesenjangan bukan terletak pada program-program tambal sulam, melainkan pada penerapan sistem Islam secara kaffah. Wallahu a’lam.(red)

Artikel ini telah dibaca 31 kali

badge-check

Publisher

Baca Lainnya

Resmob Polda Sultra Tangkap Oknum ASN yang Tikam Anggota Polri hingga Tewas

15 November 2025 - 16:57 WITA

Ironi Mimpi Negara Maju: Lulusan Kampus Tak sepenuhnya Mengakomodir Kebutuhan Industri

13 November 2025 - 21:54 WITA

Tingginya Biaya Politik, Kepala Daerah Berada di Bawah Bayang-bayang Jeruji

12 November 2025 - 18:56 WITA

Ayo Belajar Bagi yang Belum Paham Kasus Tapak Kuda

2 November 2025 - 20:44 WITA

Rakyat Menjerit, Elit Berkuasa: Sebuah Refleksi Tragis di Usia Ke-80 Kemerdekaan Indonesia

29 Agustus 2025 - 11:15 WITA

Tiga Pilar Keadilan: Pajak, Zakat, dan Wakaf dalam Perspektif Kapitalisme dan Islam

26 Agustus 2025 - 11:10 WITA

Trending di Opini