PAPUA – H-2 sebelum merayakan kemenangan, saat sebagian umat Islam keblinger oleh warna dan potongan daging menu 1 syawal, di belahan wilayah yang sama seorang Wanita Muallaf sedang berjubaku dengan janur dalam bilangan puluhan.
Di samping anyaman daun kelapa terbilang hitung jari tersebut, tampak setumpuk beras setengah masak dalam baskom berukuran kecil. Bersama dua orang ibu berkulit hitam rambut keriting, mereka hanya bisa saling tatap sembari menyaksikan keterampilan anyaman lapa-lapa Ibu berbadan lumayan gemuk itu.
Saat banyak ibu-ibu sedang memenuhi pasar dan toko-toko memilah milih pakaian yang hendak dikenakan pada hari raya idul fitri, saat para ibu memboyong anak cucu berbelanja kebutuhan untuk lebaran, saat sebagian besar umat Islam di Wondama sibuk mencampur adonan dan menghitung toples kue yang akan di sajikan di atas meja kaca beralas taplak kain katun nan tebal berkilau, disaat yang sama ada sekian orang melongok kebingungan tiada henti, bukan karena memikirkan sajian menu untuk diberikan kepada handai taulan yang akan bertamu. Akan tetapi mereka membayangkan makanan apa yang akan disantap sepulang melaksanakan sholat id fitri sekadar untuk mengganjal perut.
Seorang ibu mengenakan kaos hitam kusam lengan panjang dengan kain sarung belang-belang merah biru hitam, tampak daun pisang dan tali rafia berserakan, dengan sumber daya sangat memprihatinkan, mencoba mengurai daun pisang muda pengalas buras. Ia hanya bisa melakukan ini menyambut hari raya kemenangan.
Jangankan memilah milih pakaian layak pakai untuk dikenakan di hari bahagia bagi umat Islam, bahkan untuk menjangkau toko penjual pakaian pun ia tidak punya. Jangankan menghiasi matanya dengan warna warni daging yang dijajakan para pedagang, sekedar untuk mengetahui harga per kilogram saja ia tidak barani.
Maimunah Marani adalah seorang Wanita berdarah Wondama. Berpisah (tak cerai) dengan suami berdarah Bintuni marga Finbay, seorang imam di salah satu Masjid di Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat. Memilih pulang ke Wondama karena panggilan tanah di mana pusat ditanam, ia tinggal dengan keluarga satu marga di dalam rumah type 36 M2 beranggotakan delapan jiwa, tujuh dewasa dan satu orang anak usia lima tahun. Menderita penyakit asam urat kronis, membuat ibu tiga anak ini tidak bisa bekerja seperti kebanyakan ibu lainnya. Ia menggantungkan hidup sehari hari dari hasil alam sekitar rumah.
Berkesempatan jumpa dengannya dalam agenda pembagian zakat fitrah. Salah satu dari delapan asnaf penerima zakat, ia mendapatkan haknya sebagai muallaf. Dari depan rumah, saya dengan Bang Syamsul Arief Badrun memberi salam. Dengan lekas ia menjawab salam dan mempersilahkan kami masuk lewat pintu dapur. Kami pun menyalami seorang ibu depan pintu masuk dan langsung menyambangi ibu Maimuna yang dengan gesit memaksa berdiri. Beranjak dari tempat duduk segera ia menyalami kami satu persatu.
Tanpa basa basi, kami melaksanakan tugas menyampaikan amanah dari Unit Pengumpul Zakat Masjid Al Falah Wasior. Saat menyerahkan amplop, seketika suasana menjadi hening, dengan suara bergetar diikuti linangan air mata, ia mengucapkan beberapa patah kata “Adooohhh…… adoooohhh Ya Allah, adooohhh terima kasih anak, adooohh terima kasih. Tangis haru mewarnai keheningan suasana siang itu.
Melihat raut muka dan mata yang dipenuhi linangan air suci, saya dan bang Sam langsung mengalihkan perhatian pada objek lain karena tidak kuat menahan kesedihan dari seorang ibu penjaga hidayah Allah SWT. Seketika kami beranjak dari dapur panggung, dengan potongan kayu sebagai bahan penyulut api tersebut.
Ia telah memilih jalannya untuk menjadi seorang Muslimat di tengah kehidupan keluarga beragama Nasrani. Meraka hidup berdampingan, menghargai keyakinan satu sama lain.
Iapun tetap eksis dan istiqomah pada jalan yang diyakininya, meskipun ia tinggal dan hidup bersama saudara-saudarinya yang Nasrani. Karena dia menemukan kedamaian bersama saudaranya di atas tanah moyangnya, tanah peradaban bagi orang Papua, Teluk Wondama.