KENDARI – Seorang sopir truk meninggal dunia setelah tertimbun tanah longsor di area tebing hasil pemotongan lahan (cut and fill) yang diduga milik salah satu pengembang perumahan di Kota Kendari. Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Kendari menyebut kejadian tersebut bukan sekadar bencana alam, tetapi bentuk kelalaian yang memiliki konsekuensi pidana.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Kendari, Relton Anugrah mengatakan, dalam perspektif hukum, kejadian ini tidak bisa disederhanakan sebagai bencana alam biasa, melainkan patut diduga sebagai konsekuensi dari keteledoran manajemen risiko pembangunan dan lemahnya pengawasan.
“Ini bukan musibah biasa. Ini akibat intervensi manusia terhadap kontur tanah tanpa manajemen risiko yang benar. Ketika ada kegiatan berisiko tinggi, ada yang menguasai sumber risiko, lalu terjadi kematian, itu masuk unsur kelalaian. Pasal 359 KUHP jelas bicara soal orang yang menyebabkan mati karena kesalahannya,” ujar Relton, Selasa 11 November 2025.
Menurutnya, kegiatan cutting dan pematangan lahan adalah kategori kegiatan konstruksi berbahaya dan harus tunduk pada standar teknis kestabilan lereng. Ia menilai framing kejadian ini sebagai tanah longsor seolah-olah bencana alam adalah manipulasi persepsi publik agar akar kelalaian tidak terlihat.
“Jangan dikaburkan ini jadi sekadar tanah longsor. Yang longsor ini bukan bukit alami. Ini terjadi karena pengerukan bagian sisi bukit. Jadi secara hukum bukan faktor alam murni, tapi akibat tindakan manusia,” tambahnya.
Dalam konteks hukum lingkungan, jika proyek tersebut tidak memiliki AMDAL atau UKL-UPL yang sah, maka UU PPLH bahkan bisa masuk sebagai instrument penegakannya.
Di sisi lain, dari perspektif hukum Ketenagakerjaan, standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi wajib karena setiap kegiatan yang menimbulkan risiko harus memiliki mitigasi yang jelas, bahkan ketika yang terdampak bukan pekerja internal, tetapi masyarakat sekitar.
PERMAHI Kendari minta pihak Kepolisian tidak berhenti pada tahap pemeriksaan saksi umum, tetapi segera mengurai rantai aktor pertanggungjawaban mulai dari pemilik lahan, pengembang, kontraktor pengerjaan, hingga penanggung jawab teknis di lapangan.
“Karena itu, kami mendorong Penyidik Kepolisian untuk tidak berhenti pada tulisan “kecelakaan” dalam berita awal, tetapi langsung memetakan siapa pemilik lahan, siapa penanggung jawab teknis, siapa kontraktor pengerjaan, dan siapa pemegang izin. Sebab dalam banyak kasus pembangunan perumahan di Kendari dan sekitarnya, developer hanya menonjolkan brosur perumahan dan marketing sementara proses hulu, seperti pematangan lahan dan pengangkutan material tanah, dilakukan tanpa standar dan tanpa protokol keselamatan,” lanjut Relton.
Relton juga meminta Pemerintah Kota Kendari tidak menutup mata dan segera membuka daftar gelap proyek pematangan lahan yang sedang berjalan.
“Pemda harus buka data. Apakah pematangan lahan itu sesudah memiliki perizinan yang lengkap atau belum. Jangan masyarakat dijadikan korban pembangunan perumahan yang ugal-ugalan,” tutupnya.(red)








