KENDARI – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) HAMI Sulawesi Tenggara (Sultra) mengecam keras penanganan perkara penganiayaan dan pengeroyokan yang menimpa Mansur, guru honorer SDN 2 Kendari, pada 9 Januari 2025.
Pasalnya, dua oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi Sultra, Sumaryono Sasmita dan Andi Sadli Tenry Sampiang, hanya dijatuhi hukuman penjara empat bulan dengan masa percobaan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kendari pada 11 Juli 2025.
Keputusan tersebut menuai kritik karena kedua terdakwa tidak pernah ditahan selama proses penyidikan maupun penuntutan, meski Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kendari menuntut hukuman yang sama.
“Kami sangat menyayangkan, vonis terhadap pelaku hanya empat bulan—
Andri menegaskan bahwa kasus ini masuk dalam kategori tindak pidana berat sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP, yang mengancam pidana penjara maksimal lima tahun enam bulan.
“Mestinya JPU menuntut minimal setengah dari hukuman maksimum, namun yang terjadi justru jauh lebih ringan, sungguh aneh,” tambahnya.
Selain menilai hukuman terlalu ringan, LBH HAMI menyoroti sikap JPU yang tidak mengajukan banding atas putusan tersebut.
“Jika hukuman turun setengah dari tuntutan, JPU harus banding. Namun dalam perkara ini tidak sama sekali,” tegas Andri.
Perbedaan perlakuan hukum juga tampak pada kasus Mansur sendiri. Pada sidang sebelumnya, Mansur dituduh melakukan dugaan pelecehan anak dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara, meski tidak ada fakta yang memberatkan selama proses persidangan.
“Ini memperlihatkan fenomena peradilan yang tajam di bawah, tumpul di atas,” kritik Andri.
LBH HAMI mendesak agar aparat penegak hukum menegakkan keadilan secara konsisten, meninjau kembali putusan yang dianggap tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan, serta memastikan tidak ada diskriminasi dalam penerapan hukum.
“Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, apapun jabatan atau status seseorang,” pungkasnya.(red)











