Oleh:
Rimba Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Halu Oleo
Dalam waktu dekat, Kampus Hijau Bumi Tridharma Univeristas Halu Oleo (UHO) akan mengalami transisi kepengurusan pada sektor lembaga kemahasiswaan. Biasanya, proses sirkulasi “elit kelembagaan” tersebut dilakukan melalui Pemilihan Umum Raya Mahasiswa (PEMIRA) yang dilaksanakan secara periodik setiap satu (1) tahun sekali sebagaimana digariskan dalam Surat Keputusan (SK) Rektor UHO No. 853a Tahun 2015.
Pada 29 Oktober 2025, Komisi Pemilihan Umum Raya Mahasiswa (KPU-RM) UHO resmi merilis jadwal penyelenggaraan PEMIRA yang dimulai dari tahap Pendaftaran Bakal Calon (Balon) hingga tahap pelaksanaan pemungutan, perhitungan, dan pengumuman hasil suara kandidat.
Sebagai sarana demokratis untuk menyeleksi calon fungsionaris lembaga kemahasiswaan ditingkat Fakultas dan Univeristas, PEMIRA dilaksanakan untuk diikuti oleh seluruh Mahasiswa UHO yang berniat menjadi pengurus lembaga Eksekutif dan Legislatif kampus (BEM, DPM & MPM).
Kendati demikian, niat baik dan jargon visioner kandidat tertentu tak cukup dijadikan sebagai dasar untuk mengikutsertakan diri dalam agenda transformasi kedaulatan mahasiswa. Pasalnya, PEMIRA telah lama dinisbahkan sebagai “ruang mulia” untuk menyeleksi figur berkualitas yang nantinya akan menjadi “penyambung lidah mahasiswa UHO” secara keseluruhan.
Oleh karenanya, mahasiswa yang ingin mengikutsertakan diri dalam PEMIRA UHO senantiasa disyaratkan memenuhi beberapa kriteria objektif yang ditetapkan oleh penyelenggara PEMIRA. Baik kriteria/syarat formil yang berhubungan dengan aspek administratif, maupun syarat materiil (substantif) yang berkaitan dengan kualitas peserta PEMIRA.
Dalam konteks ini, menarik kiranya untuk ditelisik proses pencalonan kandidat PEMIRA UHO yang kerap kali mengabaikan syarat formil sebagaimana dimuat dalam draft Persyaratan Bakal Calon Ketua dan Wakil Ketua B(Fakultas dan Univeristas), serta Bakal Calon Anggota DPM dan MPM Univeristas Halu Oleo.
Berdasarkan draft persyaratan dimaksud, Calon “Pejabat Kampus” yang mengikutsertakan diri dalam kontestasi PEMIRA UHO haruslah mahasiswa yang tidak sedang menjabat sebagai pengurus lembaga kemahasiswaan internal UHO, dan wajib mengundurkan diri apabila sedang menduduki jabatan tertentu yang dibuktikan dengan surat pernyataan dan/atau surat keterangan yang ditandatangani oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan/atau Ketua Lembaga yang bersangkutan.
Ketentuan diatas tegas diatur dalam diktum (12) dan (13) Lampiran Persyaratan Bakal Calon Peserta PEMIRA UHO Tahun 2025. Namun, apalah makna aturan yang tegas jika tidak dibarengi dengan tindakan yang tegas pula. Ia hanya akan menjadi tinta hitam di atas kertas putih; tak berdaya, tak bisa bergerak, dan tak ada gunanya. Ibarat manusia yang sudah kehilangan nyawa, ia tak lagi memiliki kuasa untuk berbuat apa-apa. Miris.
Jamak diketahui, bahwa kandidat PEMIRA UHO setiap tahunnya adalah mahasiswa yang sedang menjabat sebagai Pengurus Lembaga Kemahasiswaan di Internal Universitas Halu Oleo; tidak terkecuali bagi PEMIRA Tahun 2025.
Secara substanstif, pengalaman menjabat di kelembagaan internal merupakan bagian dari upaya kandidat tertentu untuk meningkatkan kualitas diri dalam mengarungi dunia institusi kampus. Namun secara formil-administratif, kondisi demikian merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Bakal Calon Peserta PEMIRA.
Meskipun kandidat PEMIRA UHO telah membuat surat pernyataan yang ditandatangani oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (bagi mahasiswa yang tidak sedang menjabat) atau telah membuat surat keterangan yang ditandatangani oleh Ketua Lembaga (bagi mahasiswa yang sedang menjabat dan akan mengundurkan diri), namun dalam praktiknya, masih ditemukan kandidat yang tidak memenuhi kriteria formil sebagaimana dimaksud dalam diktum (12) dan (13) persyaratan Bakal Calon peserta PEMIRA UHO. Secara administrasi telah mengundurkan diri akan tetapi pada realitanya mereka masi berada pada posisi tersebut.
Hal ini merupakan implikasi dari ketidakbecusan (kelalaian) KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Raya (BAWASRA) sebagai penyelenggara PEMIRA. Harusnya, KPU-RM melakukan verifikasi faktual terhadap berkas bakal calon peserta PEMIRA untuk memastikan validitas berkas dimaksud.
Di sisi lain, BAWASRA memiliki peran vital dalam mengawasi kinerja KPU-RM yang kerap lalai tersebut. Dengan demikian, kelalaian KPU-RM dalam memastikan validitas berkas bakal calon peserta PEMIRA, tidak lain merupakan bagian dari kegagalan BAWASRA dalam melaksanakan fungsi pengawasan.
Jika terus dibiarkan, maka akan banyak sekali kandidat PEMIRA Se-UHO yang terpilih sebagai pejabat lembaga kemahasiswaan melalui proses seleksi yang cacat secara administratif. Oleh karena itulah, optimalisasi peran KPU-RM dan BAWASRA sangat dibutuhkan untuk memastikan penyelenggaraan PEMIRA UHO secara demokratis dan bermartabat. Pun merupakan syarat mutlak untuk menjamin pelaksanaan kontestasi elektoral kampus yang berkepastian hukum.(red)











