KENDARI – Keluarga terdakwa BDM, kasus dugaan pencabulan anak, menggelar demo di Kantor Pengadilan Negeri (PN) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat, 28 November 2025. Mereka mempertanyakan perkara kerabat mereka yang diduga menjadi korban kriminalisasi aparat penegak hukum (APH).
“Kami duga ini merupakan peradilan sesat yang dipenuhi dengan rekayasa,” ucap orator massa aksi, Agusalim.
Ia menegaskan, dugaan rekayasa perkara dapat dilihat mulai dari penyembunyian hasil visum hingga keterangan saksi yang berubah-ubah.
Kejanggalan pertama adalah hasil visum, kejadian pada 21 November 2025, visum dilakukan keesokan harinya, 22 November 2024. Kepolisian sempat menyatakan adanya bukti visum yang menguatkan tuduhan tapi anehnya di persidangan itu tidak pernah dimunculkan hasil visum.
Permintaan tim kuasa hukum kepada majelis hakim untuk menghadirkan hasil mengisahkan ahli atau bukti baru untuk menjernihkan perkara.
Kejanggalan kedua, keterangan saksi anak atau korban yang berubah. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian, anak tersebut tidak pernah menyatakan merasakan tonjolan keras atau melihat terdakwa membuka resleting celana. Namun, di persidangan, keterangan tersebut tiba-tiba muncul.
Kejanggalan ketiga adalah mengenai barang bukti pakaian anak yang tidak pernah disita penyidik di awal kasus. Nanti di persidangan baru datang dibawa pakaiannya, sehingga barang bukti itu tidak diketahui disita dari siapa dan apakah benar ada hubungannya dengan perkara.
“Kami menduga bahwa ada indikasi kuat keterlibatan APH yang memiliki kedekatan dengan keluarga korban yang coba untuk mengatur perkara ini,” tegasnya.
Dengan begitu, berdasarkan adanya indikasi rekayasa perkara, keluarga terdakwa meminta Ketua PN Kendari dan Majelis Hakim untuk melanjutkan pemeriksaan perkara berdasarkan pasal 182 ayat (2) KUHAP.
“Kami meminta dihadirkan bukti visum dan dokter forensik yang melakukan visum dan menghadirkan saksi verbalisan penyidik yang memeriksa perkara ini,” jelasnya.
Kemudian, mereka juga meminta agar dilakukan pemeriksaan terhadap polisi yang menangani laporan korban, Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan Majelis Hakim atas dugaan pelanggaran prosedur dan pelanggaran etik.











