KENDARI – Perjuangan hukum KOPPERSON kini menyingkap rangkaian kejanggalan yang tampak terlalu konsisten untuk sekadar kebetulan. Sejak awal, publik sudah melihat jelas siapa yang melanggar hukum dan siapa yang menjadi korban, namun hingga kini tidak ada tindakan tegas, proses hukum, atau sikap objektif dari aparat terhadap pelanggar yang nyata.
Sebaliknya, muncul pola‑pola yang seolah dirancang untuk melemahkan KOPPERSON, mulai dari serangan personal terhadap kuasa khusus, penghalangan kegiatan konstatering yang memiliki dasar hukum, hingga perlakuan berbeda aparat di lapangan.
Perbedaan standar keamanan terlihat jelas. Ketika Pemerintah Provinsi melakukan konstatering di lahan PGSD, pengamanan sangat ketat dan terkoordinasi. Namun ketika KOPPERSON melakukan konstatering dengan legitimasi yang sama, pengamanan justru longgar, massa dibiarkan mendekat, dan relawan berada dalam situasi tidak aman.
Informasi dari sejumlah pihak kredibel bahkan menyebut adanya indikasi oknum aparat yang diduga terlibat dalam dinamika ini, sebuah fakta yang sangat memprihatinkan karena institusi penegak hukum seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjamin keadilan.
Hampir 800 massa KOPPERSON pernah bersiap melakukan pengawalan demi keselamatan, namun justru diminta “bersabar”. Sementara itu, pihak lain membawa parang, tombak, busur, dan pentungan tanpa adanya tindakan signifikan. Hingga kini, tidak ada langkah tegas terhadap ancaman tersebut.
Di tengah situasi yang sudah janggal, upaya kriminalisasi semakin menegaskan arah tekanan terhadap KOPPERSON. Selain kasus pot bunga yang nilainya bahkan tidak sampai Rp250.000, kini salah seorang anggota Relawan Keadilan—Ketua Ormas Tapa Kuda—juga dipanggil oleh Bolda Sultra dengan tuduhan pemukulan berdasarkan laporan Pengadilan Negeri Kendari.
Padahal rekaman CCTV dengan jelas memperlihatkan tidak ada pemukulan, melainkan hanya dorong‑mendorong antara aparat kepolisian dan massa KOPPERSON akibat kondisi lapangan yang chaos. Fakta visual ini menguatkan dugaan bahwa laporan‑laporan tersebut bukan lahir dari kejadian objektif, tetapi lebih sebagai alat untuk menekan dan melemahkan relawan.
Ironisnya, ketika masyarakat menuntut hak berdasarkan putusan inkrah, yang muncul justru laporan‑laporan kecil yang dipaksakan, sementara pelanggaran besar oleh pihak lain dibiarkan. Publik pun bertanya: apakah keadilan di negeri ini hanya diterapkan ketika menguntungkan pihak tertentu?
Fianus Arung, kuasa khusus KOPPERSON, menegaskan, “Pot bunga yang mana yang saya rusakkan? Saksi siapa dulu? Kalau saksi dari pihak pengadilan, tentu mereka punya sentimen terhadap massa KOPPERSON. Ratusan saksi dari pihak kami tidak melihat pot yang rusak—kecuali pot yang jatuh, dan itu pun tidak rusak kecuali dirusak kemudian oleh oknum yang mengaku saksi,” kata Finaus Arung.
Catatan ini juga berdiri di atas fakta lain bahwa kaca Pengadilan Negeri pernah pecah akibat massa lain, namun tidak ada proses hukum serius atau tindakan tegas yang terlihat. Perbandingan ini memperjelas adanya standar ganda yang menciderai integritas penegakan hukum.
Rakyat melihat, relawan melihat, dan sejarah mencatat. Jika benar ada upaya membungkam perjuangan KOPPERSON melalui rangkaian laporan yang tidak proporsional, maka hal tersebut bukan hanya masalah hukum, tetapi persoalan moral dan integritas institusi negara.
Namun satu hal pasti: KOPPERSON tidak akan mundur. Fianus Arung, menegaskan bahwa ia bersama tim hukum dan Relawan Keadilan, akan terus berdiri, melawan, dan memperjuangkan hak masyarakat. Keadilan dapat ditunda, dipelintir, dihimpit, tetapi tidak dapat dibunuh. Perjuangan ini tidak akan berhenti hingga kebenaran tegak dan ketidakadilan tumbang sepenuhnya.(red)











