Oleh: Umar Ode Hasani
Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Sultra ke-8 sebagai perhelatan dan atau arena mengevaluasi kinerja kepemimpinan selama satu periode, sekaligus “kontestasi” intra warga Muhammadiyah menuju kursi 1 (satu) Muhammadiyah Sultra berakhir ahad siang.
Agenda evaluasi kinerja dan pemilihan pimpinan baru seluruhnya berlangsung “elegen”. Musyawarah di Muhammadiyah selalu lain dari pada yang lain, selalu berlangsung damai tanpa gaduh. Karena itu menurut sebagian orang musyawarah ala Muhammadiyah tidak “lucu”, karena tanpa maneuver, tanpa akselerasi, para kandidat tidak memiliki “trik” untuk menjadi orang nomor satu di organisasi ini.
Dalam teori dan pandangan umum, sebuah perhelatan “memperebutkan” kursi kepemimpinan pada sebuah organ besar, para calon tidak segan (niscaya) bermanuver. Membentuk tim sukses bahkan kalau perlu mengorek kocek, minimal untuk uang transport, biaya penginapan dan makan minum selama perhelatan musyawarah.
Kelumrahan lain dalam bermusyawarah di negeri ini adalah para pendukung kalau perlu sesama kandidat saling gosok, gesek dan geser. Realitas tersebut bukan dongen tetapi merupakan fenomena yang akrab pada di hampir setiap perhelatan musyawarah, baik di lingkungan ormas social apalagi pada organisasi poltik.
Sebagai sesuatu yang telah menjadi kelumrahan, manuver amplop untuk melicinkan seorang calon dipandang sebagai keniscayaan. Bahkan lumrah terdengar negeri ini mereka yang diberi amanah oleh negara untuk memimpin satu Kementerian, tanpa malu dan rasa berdosa memanfaatkan kekuasaan guna memobilisasi para pegawai dan birokrasi agar “jagoannya” dipilih, terutama bila kandidat yang dinominasikan adalah kakak, adik, isteri dan ipar.
Tidak cukup sampai disitu, kerap terdengar di negeri ini pejabat birokrasi menginstruksikan bawahannya untuk mencari cela anggaran untuk membiayai para pemilik suara. Tidak sedikit, para kandidat yang bermimpi untuk berada pada “singgasana” kuasa dalam sebuah organisasi, menggunakan jasa pengusaha kelas “hitam” sebagai donator. Menariknya, tradisi tersebut tidak hanya terjadi dalam dunia politik dan organisasi profesi tetapi juga telah melintas batas dan telah menjadi “kultur” pada sebagian organ keagamaan Islam.
Dalam konteks pop kultur bermusyawarah di negeri kita, boleh jadi musyawarah ala Muhammadiyah yang sejuk, damai tanpa gaduh dan sepi dari “acrobat” politik dipandang sebagai musyawarah garis lucu. Sehingga kalaupun banyak pihak luar yang menghadirinya, sangat boleh jadi karena mereka ingin menyaksikan “style” musyawarah yang unik Pertanyaannya adalah apakah musyawarah yang sepi dari desas desus manuver amplop, mobilisasi berbasis uang transport, dikarenakan organ ini kurang atau bahkan “tidak” menguntungkan secara politik. Boleh jadi iya, karena memang organ ini terus kokoh mempertahankan konsistensinya sebagai organ social yang independen. Tampaknya Muhammadiyah tidak ingin menjadi seperti kebanyakan organ social keagamaan yang rasa “nano-nano”.
Bagi warga Muhammadiyah mereka tetap ingin bertahan dalam tradisi bermusyawarah ala orang dulu yang memandang gerakan “amplop” equivalen dengan tradisi riswah (sogok menyogok). Bertahan pada garis tersebut untuk era kekinian sangat tidak “kren” sehingga mungkin saja menjadikan banyak orang tidak terpikat dengan Muhammadiyah. Kata tetangga saya; menjadi Muhammadiyah itu beresiko, sebab pada kementerian-kementerian tertentu akses orang Muhammadiyah tertutup sekalipun hanya untuk posisi kepala seksi, sekalipun cerdas, terampil dan jujur .
Kata teman saya yang Muhammadiyah, fiqhi kami masih memandang uang transport sebagai “sogok” yang pelakunya terhina di hadapan Allah. Lalu untuk apa bermanuver pada sesuatu yang miskin masa depan. Jika kita berasumsi organ matahari ini miskin pejabat birokrat, tidak memiliki anggota yang menguasai kementerian basah, para elitnya di tingkat Pusat kurang atau nyaris tidak ada yang memegang jabatan komisaris BUMN, maka tidak ada ahli yang menyangkali asumsi tersebut. Tetapi jika kita berasumsi bahwa organ ini miskin “harta”, maka asumsi tersebut akan menjadi lebih lucu dari kelucuan musyawarah Muhammadiyah yang sepi dari maneuver amplop. Asumsi tersebut pasti ditertawaain oleh analis social dan ekonom, sebab dalam faktanya organ ini memiliki asset triliunan rupiah.
Untuk konteks Sultra misalnya, sekalipun belum ada penelitian tentang hal terkait, namun secara dini dapat dipastikan bahwa organ ini adalah perkumpulan social yang paling banyak memiliki asset perguruan tinggi. Dipastikan di Sultra tidak ada organisasi yang memiliki 7 (tuju) perguruan tinggi selain Muhammadiyah. Dengan 7 asset itu saja kiranya tidak ada argument yang bisa membenarkan untuk menyatakan Muhammadiyah “miskin”. Dengan 7 (tuju) asset tersebut, sejatinya sangat layak dalam suksesi kepemimpinan Muhammadiyah para kandidat untuk memainkan taktik jitu guna memenangkan kontestasi. Mengapa? karena untuk menjadi seorang rektor dalam lingkaran perguruan tinggi Muhammadiyah sangat ditentukan oleh “keridhaan” pimpinan wilayah. Namun dalam kenyataannya upaya menduduki kursi 1 (satu) Muhammadiyah, selalu adem-adem saja. Sampai disini bisa jadi membuat kita semakin gelisah “gregetan” tentang fakta kelucuan dan keunikan musyawarah Muhammadiyah.
Penulis yang sempat mengamati jalannya musyawarah Muhammadiyah Sultra selama 3 (tiga) hari, menjadi tidak tertarik, betapa tidak, posisi 1 (satu) Muhammadiyah wilayah yang sejatinya menjanjikan, disikapi biasa-biasa saja oleh para kandidat.
Peserta Musyawarah sebanyak 203 orang yang memiliki hak pilih terhanyut dalam situasi silaturrahim, cerita mereka bukan tentang apa yang akan mereka dapatkan dari Muhammadiyah, tetapi tentang apa yang mereka dapat dan atau harus berikan kepada Muhammadiyah. Setelah musyawarah diantara mereka ada yang pulang membawa “kecemburuan”, karena di Daerah yang Muhammadiyahnya dipimpin oleh teman sokosnya ketika berkuliah telah berdiri perguruan tinggi Muhammadiyah, sehingga hatinya merasa “malu” di hadapan Tuhan karena mereka belum dapat berjariyah lewat Muhammadiyah, sembari menanamkan tekad bahwa tahun depan kelak di daerah saya akan berdiri Amal Usha Muhamadiya.
Musyawarah wilayah ke 8 Muhamammadiyah, yang adem-adem ayem tampaknya merupakan “reinkarnasi” dari Muktamar Muhammadiyah yang sejuk. Yang oleh JK (2015) disebut sebagai perhelatan musyawarah penuh keteladanan. Dahlan Iskan menyatakan musyawarah dalam tradisi Muhammadiyah sangat damai. Tidak ada kubu-kubuan. Tidak ada tim sukses. Tidak ada kampanye terselubung. Dan yang jelas: tidak ada serangan fajar. Politik uang sama sekali tak tercium (Pedulirakyat, 2022).
Jika tokoh setawadhu Gus Mus pernah menyampaikan tahniah dan salam khusus kepada warga Muhammadiyah yang bermuktamar secara damai dan tanpa gaduh, maka adalah sangat wajar jika saya yang tidak berilmu juga menyampaikan apresiasi sedalam-dalamnya kepada warga Muhammadiyah yang telah memberikan keteladanan dalam bermusyawarah pada penduduk negeriku yang tercinta.(***)