PENAFAKTUAL.COM, KONSEL – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) angkat bicara soal polemik penambangan nikel PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya.
Masyarakat setempat menolak PT WIN melakukan aktivitas penambangan di lokasi tersebut, lantaran area pengerukkan ore nikel tidak jauh dari pemukiman warga. Penolakan itu, sempat viral di media sosial (Medsos), dimana emak-emak turun dan menghadang sejumlah alat yang sedang bekerja.
Kepala Bidang (Kabid) Tata Lingkungan DLH Konsel, Suyetno mengatakan, PT WIN sendiri memang sudah mengantongi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang diterbitkan sejak 2014 silam.
“Ada amdalnya, itu terbit kurang lebih tahun 2014 kalau ndak salah ya, tapi yang jelas ada amdalnya,” tuturnya.
Mengenai penolakan masyarakat, lanjut Suyetno menerangkan, memang didalam amdal itu sudah ditentukan perkiraan dampak daripada aktivitas penambangan baik di area pemukiman warga maupun diluar dari pemukiman warga.
Mestinya perusahaan lebih bijak dalam menjalankan usaha pertambangannya, apalagi menambang dekat dengan pemukiman. Padahal, aturannya sudah sangat jelas, jarak penambangan dengan pemukiman warga kurang lebih 500 meter.
Sehingga, DLH Konsel tidak membenarkan adanya aktifitas penambangan di dekat pemukiman. Pastinya akan mengganggu aktifitas masyarakat sekitar.
“Secara pribadi dan institusi ya tidak dibenarkan, masuk diperkampungan menambang, ada rumah warga dan akan mengganggu aktifitas masyarakat. Makanya PT WIN ini indikasi pelanggaran kuat, karena kegiatan menambangnya meresahkan masyarakat,” tuturnya.
Walaupun pelanggaran sudah didepan mata dilakukan PT WIN dengan melakukan aktivitas penambangan di perkampungan, tetapi kata Suyetno pihaknya tidak serta merta langsung menyimpulkan bahwa itu sebuah pelanggaran.
Untuk memastikan ada dan tidaknya pelanggaran lingkungan disitu, DLH mesti lebih dulu turun melakukan pengkajian serta peninjauan lapangan. Paling lama, lima hari kerja untuk bisa menghasilkan kesimpulan.
Namun yang menjadi kendala, kebijakan pengawasan sudah diambil alih oleh pusat sejak 2020 lalu. Sehingga kewenangan pengawasan bukan lagi di daerah.
“Sejak 2020, daerah sudah tidak lagi melakukan pengawasan pasca diambil alih pusat. Tetapi kadang kami turun ketika ada laporan dari masyarakat,” katanya.
Dia menyarankan, masyarakat langsung saja melaporkan di Pos DLH Konsel dengan membawa bukti dokumentasi dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan. Nanti akan ditindaklanjuti oleh tim dengan turun melakukan peninjauan.
Adapun hasilnya terindikasi melanggar baku mutu lingkungan, baku mutu air limbah, baku mutu emisi atau baku mutu gangguan, maka pihaknya kemudian bakal mengeluarkan rekomendasi ditujukkan ke Penegak Hukum (Gakum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan penindakan.
Hal ini sebagaimana pernah dilakukan DLH Konsel merekomondasikan kepada Gakkum KLHK untuk menghentikan sementara aktifitas PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS) di Laonti, karena terbukti mencemari laut dimana tempat mata pencairan nelayan disana.
“Contoh kecilnya kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan PT GMS, masyarakat mengeluhkan mereka tidak dapat mencari nafkah karena lautnya tercemar, kita buat rekomendasi ke Gakkum berdasarkan hasil peninjauan lapangan. Akhirnya diberhentikan aktivitas selama 9 bulan sambil dilakukan perbaikan,” jelasnya.
Dia pun mewanti-wanti, apabila terbukti PT WIN melanggar ketentuan perundang-undangan dan membuat masyarakat tidak nyaman akibat aktifitas mereka, tidak menutup kemungkinan pihaknya akan merekomondasikan ke Gakkum KLHK.
Sebagaimana juga diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup di Pasal 100 ayat (1) dengan bunyi, setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.(**)