PENAFAKTUAL.COM – Kandidat Doktor IPB University La Ode Muhammad Rabiali mengungkapkan Desain isu politik 4 Pilar dalam Pilgub Sultra bukan saja tidak laku melainkan runtuh hanya dalam hitungan jam pasca quick count.
Terkecuali di Konawe Utara yang menjadi basis Ruksamin, ASR-Hugua menyapu bersih kemenangan di-16 dari total 17 Kabupaten/ Kota se-Sultra. Bahkan jika digabung pun suara paslon Ruksamin – Sjafei Kahar, Lukman Abunawas – La Ode Ida, dan Tina Nur Alam – La Ode Muhammad Ikhsan Taufik Ridwan, tidak cukup mampu mengalahkan suara paslon nomor urut 2 itu.
Hasil ini sangat miris dimana elit Politik Sultra mati kutu dan tidak berdaya. Nama-nama besar seperti Ali Mazi, Amirul Tamim, Umar Samiun, Wa Ode Nurhayati, Ridwan Bae, La Ode Ida, dan pendatang baru seperti Jaelani, La Ode Umar Bonte sebagai elit kekuatan politik kepulauan, serta Nur Alam, Lukman Abunawas, Ruksamin, Kery Saiful Konggoasa, Surunuddin Dangga yang menjadi representasi elit daratan yang diharapkan, justru saling bertarung diantara mereka.
Kontroversi memang, mereka geliatkan isu putra daerah dengan desain politik 4 pilar tapi diantara mereka sendiri serakah dan berebut kekuasaan.
Nur Alam misalnya, dengan berani dan lantang mengatakan jangan memilih pendatang, mari bersatu malawan ASR yang tidak lahir dan besar di Sultra, yang hanya mengeruk hasil buminya Sultra secara illegal, tapi disisi lain dia menunjukkan bentuk keserakahan dengan upaya menjadikan Istri dan anak-anaknya sebagai Gubernur, Walikota Kendari dan Bupati Konawe Selatan.
Disisi lain dengan black campaign yang dilakukan, dia juga lupa bahwa dia adalah mantan koruptor dan penjahat gratifikasi dan suap atas kasus tambang yang merugikan 4,3 triliyun uang negara.
Begitu halnya dengan Ridwan Bae yang adalah mantan Bupati Muna 2 periode juga tidak berpuas diri. Setelah dia dan anaknya terpilih sebagai anggota DPR RI, DPD RI, dan DPRD kota Kendari, kini mendorong anaknya yang lain untuk menjadi Wakil Gubernur. Tentu semua orang menilai dan melihat itu sebagai bagian dari persiapan estafet politik kekuasaan dalam jangka panjang.
Rabiali mengungkapkan masyarakat tidak bodoh lagi. Mereka nilai 4 pilar hanya desain kepentingan para elit khususnya Nur Alam dan Ridwan Bae untuk membangun dinasti dan melanggengkan kekuasaan.
Masyarakat juga berfikir kritis bahwa jika politik 4 pilar ini dianggap sebagai benteng melawan pendatang seperti ASR yang notabene memiliki mega finansial untuk menguasai Sultra, maka semestinya mereka para elit itu sadar dan bersatu untuk manampilkan satu paslon saja yang menjadi representase kekuatan daratan-kepulauan yang disepakati, bukan dengan keserakahan dan kerakusan untuk membangun dinasti politik.
Kepentingan ASR di Sultra sebenarnya hanya akan berfokus pada penguasaan tambang dan isi perut bumi anoa, dari sekedar menata birokrasi dan menciptakan good governance.
“Karenanya dalam 5 tahun ke depan ASR-Hugua tidak akan dan/ atau menghindari menciptakan kontroversi dalam tata birokrasi sebagaimana isu yang berhembus bahwa etnis Bugis akan menguasai posisi-posisi strategis dipemerintahan termasuk menempatkan seorang Sekda sebagai Jenderalnya ASN,” tutur Rabiali.
Menurut alumni Universitas Gadjah Mada itu, dalam 5 tahun kedepan, ASR tidak akan mengubah dan masih akan memberikan posisi strategis dibirokrasi pada elemen 4 pilar, sementara dia sendiri akan mengarusutamakan pengurusan dan penguasaan tambang.
Ini bukan saja menghindari kecemburuan yang membuka kran konflik masyarakat lokal versus pendatang pada tata birokrasi, melainkan pengurusan dan penguasaan tambang akan lebih bernilai finasial untuk diri dan kepentingannya termasuk partai dan tokoh-tokoh kuat yang ada dibalik layar yang siap membackup dia atas kejahatan pengelolaan tambang.
ASR-Hugua telah terpilih dan tinggal menunggu pengumuman resmi KPU untuk dilantik. Dan ini adalah babak baru dalam tradisi politik dan budaya orang Sultra. Bahwa negeri Anoa yang dibangun oleh etnik besar Muna, Buton, Tolaki dan Moronene sebagai penduduk asli dan pemilik negeri dipimpin oleh pendatang Bugis. Negeri yang dipersatukan oleh Lakilaponto/ Murhum/ Haluoleo berpindah pada pendatang yang tidak memiliki kesejarahan atas terbentuknya Sulawesi Tenggara, yang juga tidak mengenal adat, tradisi dan budaya dari 4 suku besar itu.
Dalam konteks demokrasi kita bisa saja normatif berpandangan siapapun boleh berkuasa dimanapun, tetapi barangkali mesti digarisbawahi dan diingat bahwa setiap daerah punya nilai history dan kearifan, dan nilai itu tidak bisa dibangun oleh pendatang yang tidak memiliki kesejarahannya.
ASR-Hugua adalah pemenang. Dan kita orang Muna, Buton, Tolaki dan Moronene dengan kesadaran telah menciptakan nuansa baru bahwa nilai dan filosofi sejarah itu tidak penting lagi. Realitasnya kita telah “menjual” dan “memberikan” bumi anoa dengan segala isi perutnya untuk dikelola etnis pendatang, dan pastinya kita akan sangat sulit mengembalikan kekuasan itu sebagaimana ketidakberdayaan kita pada kekuasaan Gowa dimasa kerajaan lalu.(red)