PENAFAKTUAL.COM, KENDARI – Pengadilan Negeri (PN) Kendari melaksanakan sidang tuntutan terhadap terdakwa Amelia Sabara (AS) terkait perkara dugaan perintangan korupsi wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Antam di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara (Konut).
Terlihat sidang tuntutan itu dibuka langsung Ketua Majelis Hakim PN Kendari, I Made Sukadana dan didampingi dua hakim lainnya. Kemudian, terdakwa AS duduk di kursi pesakitan sambil mendengarkan tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra).
JPU Kejati menyampaikan bahwa terdakwa melarang tersangka Andi Ardiansyah (AA) untuk memenuhi panggilan ketiga penyidik Kejati, akibatnya proses hukum dalam rangka mengungkap pelaku perkara korupsi pertambangan menjadi terhambat.
Kemudian terdakwa AS bersama pengacara, Krisna Mukti bertandang di Kejati Sultra dan bertemu penyidik. Selanjutnya terdakwa AS mengatakan bahwa dirinya dekat dengan Wakil Kejaksaan Agung dan Jaksa Agung. Selanjutnya, terdakwa AS menuturkan bahwa dalam waktu dekat akan ada pergantian unsur pimpinan di Kejagung.
Atas dasar itu, penyidik Kejati Sultra, Sugiatno merasa terganggu sehingga saat itu tidak kosentrasi melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan uraian yang dimaksud, JPU Kejati yang menangani perkara tersebut memutuskan bahwa AS terbukti secara sah merintangi sehingga dituntut penjara 6 tahun penjara dan denda Rp150 juta atau subsider tiga bulan penjara.
Penasehat hukum terdakwa, Choerul Moeslim Jufri mengatakan bahwa JPU banyak mengabaikan fakta persidangan berkaitan dengan keterangan-keterangan saksi yang disampaikan dalan persidangan, namun tidak dicatat dalam tuntutan JPU. Diantaranya berkaitan dengan kesaksian Kristanto yang merupakan salah satu penyidik perkara tersebut yang menerangkan bahwa dalam kasus tersangka AA tidak ada intervensi dari pejabat manapun.
“Dan proses perkara pemeriksaan dari AA tetap berjalan dan tidak ada yang terhambat,” bebernya, Rabu, 8 November 2023.
Kemudian berkaitan dengan Obruction of Justice dikatakan selesai apabila proses penegakan hukum tidak berjalan. Misalnya pelanggaran hukum secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung berarti ada upaya untuk menghubungi penyidik dalam hal ini JPU Kejati agar menghentikan perkara tipikor yang sedang ditangani. Tapi faktanya semua berjalan tidak ada yang terhambat.
“Justru kliennya membawa AA untuk menyerahkan diri di Kejati. Jadi tidak ada upaya intervensi,” ungkapnya.
Kemudian perbuatan secara tidak langsung berhubungan dengan adanya upaya untuk menghubungi seorang pejabat. Selanjutnya pejabat tersebut melakukan intervensi terhadap penyidik, tetapi dalam fakta persidangan tidak ada satupun saksi dalam hal ini penyidik Kejati bahwa ada upaya dari pejabat untuk melakukan intervensi, tapi salah seorang saksi (Penyidik, red) hanya merasa terganggu dengan perkataan AS dalam hal ini kliennya mengenal pejabat Kejaksaan Agung.
“Masa seorang penyidik Kejati hanya karena AS mengenal pejabat Kejagung merasa diintervensi,” jelasnya.
Dengan demikian, Choerul Moeslim Jufri menegaskan atas tuntutan JPU Kejati akan disampaikan nanti dalam persidangan Pledoi atau pembelaan yang bakal digelar pada, Rabu, 15 November 2023 mendatang.
“Pada dasarnya AS tidak ada upaya merintangi, mencegah atau menggagagalkan proses hukum tindak pidana tipikor pertambangan yang sedang berlangsung,” tandasnya.(**)