Oleh: La Ode Muhaimin
Pengangkatan dan pemberhentian seseorang PNS dari Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) di daerah kabupaten/kota memiliki perbedaan secara prosedural antara Sekretaris Daerah (Sekda) dengan JPTP lainya, misalnya Kepala Dinas. Meskipun Sekda dan Kepala Dinas di daerah kabupaten/kota berada di bawah hirarkis Bupati/Walikota, namun pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam prosedur yang berbeda.
Tulisan ini mencoba menganalisis pemberhentian seseorang PNS dari jabatan Sekda secara umum dan secara khusus (baca: Roni Muchtar) berdasar perspektif hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
Analisis dari Aspek Filosofis
Sekretaris Daerah (Sekda) merupakan jabatan strategis yang dapat dikatakan “satu-satunya” di antara sekian jabatan di lingkup pemerintahan provinsi atau kabupaten/kota. Karena bersifat strategis, maka jabatan Sekda berada di bawah koordinasi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tersebar dalam beberapa pasal pada UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai kewenangan atributif, yang terdiri dari 4 (empat) bidang, yakni: hukum, perencanaan, pemerintahan, dan pembinaan dan pengawasan.
Di samping itu, diberikan juga kewenangan delegatif, yaitu melaksanakan sebagian urusan pusat berdasarkan asas dekonsentrasi dan berdasarkan program dan kegiatan Kementerian/Lembaga.
Mengaitkan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan jabatan Sekda, dimana Gubernur mempunyai wewenang menunjuk dan menyetujui penjabat Sekda (penjabaran dari tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di bidang pemerintahan). Pemaknaan frasa “menyetujui” termasuk pemberhentian Sekda defenitif atau Pelaksana Sekda tingkat kabupaten/kota.
Kendati Sekda provinsi dan Sekda kabupaten/kota adalah ASN yang berkedudukan sebagai PNS Daerah, namun kedudukan demikian bukan sebagai dasar bagi Gubernur/Bupati/Walikota mengangkat dan memberhentikan Sekda beralas hukum keputusan pengangkatan/pemberhentian tanpa persetujuan pejabat tingkat atasnya (Sekda provinsi perlu persetujuan Presiden, Sekda kabupaten/kota perlu persetujuan Gubernur). Persetujuan dimaksud bertolak dari:
- Pengangkatan dan pelantikan Sekda kabupaten/kota dikoordinasikan lebih dahulu kepada Gubernur, dan hasil koordinasi menjadi dasar bagi Bupati/Walikota dalam menetapkan dan melantik Sekda kabupaten/kota.
- Sekda provinsi adalah kader pemerintah pusat, sedangkan Sekda kabupaten/kota adalah kader provinsi, dan karena itu penetapan dan pelantikan Sekda kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota memerlukan rekomendasi persetujuan dari Gubernur.
Berkenaan dengan dua aspek tersebut, konsekuensinya terhadap pemberhentian Sekda kabupaten/kota harus dikoordinasikan terlebih dahulu kepada Gubernur untuk mendapatkan persetujuan.
Dalam konteks ini, Gubernur dapat menerima atau menolak pemberhentian Sekda atau dengan kata lain, Gubernur memiliki hak tolak dan hak terima. Karena pengangkatan dan pelantikan Sekda kabupaten/kota memerlukan persetujuan Gubernur terlebih dahulu maka pemberhentiannya pun harus memerlukan persetujuan Gubernur terlebih dahulu pula.
Tanpa adanya koordinasi dengan Gubernur maka Keputusan Walikota tentang pemberhentian Sekda kabupaten/kota cacat prosedur yang berimplikasi tidak sah karena tidak disertai atau didasari dengan rekomendasi dari Gubernur.
Persetujuan pemberhentian Sekda kabupaten/kota dari Gubernur merupakan syarat mutlak yang wajib dipenuhi oleh Bupati/Walikota sebagaimana halnya dengan rekomendasi Gubernur kepada Bupati/Walikota dalam pengangkatan dan pelantikan Sekda kabupaten/kota.
Rekomendasi dari Gubernur sebagai tanda persetujuan merupakan manifestasi dari fungsi pengawasan dan kedudukan daerah provinsi sebagai unit antara dimana gubernur diberi wewenang tambahan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam sistem negara kesatuan yang dianut di Indonesia.
Pertimbangan filosofis di atas bertujuan menjaga keutuhan dan soliditas Negara Kesatun RI. Keutuhan dan soliditas NKRI memerlukan pengawasan pemerintahan secara berjenjang. Dalam konteks pemerintahan/eksekutif, keberadaan Sekda provinsi memegang peran kontrol yang didelegasikan oleh pemerintah pusat untuk mengawasi kinerja dan roda organisasi pemerintahan provinsi.
Demikian juga dengan Sekda kabupaten/kota melaksanakan peran pengawasan yang didelegasikan oleh pemerintah provinsi untuk melaksanakan pengawasan terhadap ASN di lingkup pemerintahannya. Adanya kontrol yang bertingkat demikian kompatibel dengan prinsip dalam negara kesatuan, yang menyatakan bahwa pengawasan adalah pengikat negara kesatuan.
Analisis dari Aspek Yuridis
Keputusan Walikota Baubau Nomor: 101/I/2023, bertanggal 31 Januari 2023 tentang pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau mengandung kelemahan secara hukum dan ketidakfaktualan, dikarenakan:
1. Pertimbangan filosofis dalam Keputusan Walikota pada huruf a bertentangan dengan pertimbangan pada huruf c, karena Roni Muchtar selaku Sekda Kota Baubau tidak pernah dievaluasi kinerjanya oleh Tim Evaluasi Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau. Hal ini sekaligus menunjukan pula bahwa Keputusan yang dikeluarkan oleh Walikota Baubau yang mendasarkan Pasal 117 UU ASN bersifat parsial dan tidak komprehensif.
Keputusan Walikota juga memperlihatkan ambiguitas antara masa jabatan Sekda (Pasal 117 ayat (2) UU ASN) dengan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi (Pasal 117 ayat (2) UU ASN sebagai dasar pemberhentian. Dengan begitu, maka Keputusan Walikota menyimpangi:
a. asas kepastian hukum dalam 2 UU ASN: asas kepastian hukum adalah dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN, mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.
b. asas kepastian hukum dalam Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada huruf a: asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
c. asas tidak menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 pada huruf e ” adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
2. Pertimbangan filosofis dalam Keputusan Walikota pada huruf c tidak faktual atau tidak pernah terlaksana sehinga menyalahi ketentuan Pasal 117 ayat 2 UU No. 5/2014 tentang ASN juncto Pasal 133 ayat (2) PP No. 11/2017 tentang Manajemen PNS sebagaimana telah dirubah dengan PP No. 17/2020 tentag Perubahan PP No. 11/2017 tentang Manajemen PNS.
Adapun bunyi dari Pasal 117 ayat (2) UU ASN tersebut adalah “Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan berkoordinasi dengan KASN”.
Sedangkan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) PP No. 11/2017 adalah “JPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan PPK dan berkoordinasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara”.
Maka, Keputusan Walikota tentang pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau lebih beraroma politis dan bukan berdasar pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-udangan.
3. Pertimbangan yuridis yang dimuat dalam konsideran “Mengingat” tidak mencantumkan ketentuan yang melegitimasi keberadaan Tim Evaluasi Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau sebagaimana dicantumkan dalam pertimbangan pada huruf c yang berbunyi, “Bahwa Tim Evaluasi Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau merekomendasikan untuk tidak memperpanjang masa jabatan Saudara tersebut dalam huruf b sebagai Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau”.
Tim Evaluasi dimaksud harus didasari dengan penerbitan Keputusan Walikota tentang pembentukan Tim Evaluasi Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau [(lihat Penjelasan Pasal 133 ayat (1) PP No. 11/2017)]. Selanjutnya Tim ini melakukan tugasnya mengevaluasi pencapaian kinerja, kesesuain kompetensi, dan kebutuhan instansi melalui mekanisme yang ditetapkan dalam Keputusan. Tanpa ada Keputusan Walikota yang melegalkan tindakan Tim Evaluasi, maka Keputusan pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau tidak sah.
Mustinya Walikota Baubau menaati prinsip dalam hukum administrasi negara: Ne Bis Vexari Rule: asas yang menghendaki agar setiap tindakan administrasi negara harus didasarkan atas undang–undang dan hukum.
4. Keputusan yang dikeluarkan oleh Walikota Baubau tentang pemberhentian Roni Muchtar dengan alasan sebagaimana dimaksudkan dalam pertimbangan pada huruf c justru berbeda dan bertentangan dengan Surat Walikota Baubau A.S Tamrin yang disampaikan kepada Rektor Univ. Haluoleo bertanggal 18 April 2019 perihal perpanjangan tenaga perbantuan, dimana dinyatakan pada:
a. Angka 2, bahwa selama bertugas pada Pemerintah Kota Baubau yang bersangkutan telah menunjukan kinerja yang baik. Hal ini dibuktikan dengan Sasaran Kerja Pegawai (SKP) pada setiap akhir tahun dengan nilai rata-rata BAIK; dan
b. Angka 3, bahwa Pemerintah Kota Baubau masih membutuhkan tenaga yang bersangkutan untuk tetap diperbantukan pada Pemerintah Kota Baubau, untuk itu dimohon kiranya dapat diberikan perpanjangan izin penugasan dan/atau perbantuan yang bersangkutan sampai berakhirnya masa jabatan kami sebagai Walikota Baubau.
5. Dengan mendasarkan Surat Walikota Baubau Tamrin yang disampaikan kepada Rektor Univ. Haluoleo bertanggal 18 April 2019 perihal perpanjangan tenaga perbantuan pada angka 4 huruf b, pada anak kalimat “sampai berakhirnya masa jabatan kami sebagai Walikota Baubau” maka Keputusan Walikota Baubau tentang pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau bertentangan dengan Surat Walikota Baubau A.S Tamrin yang disampaikan kepada Rektor Univ. Haluoleo bertanggal 18 April 2019, yang mana kedudukan La Ode Ahmad Monianse sewaktu Surat Walikota diterbitkan sebagai Wakil Walikota Baubau, yang berarti bahwa La Ode Ahmad Monianse ikut menyetujui dan melegitimasinya.
6. Keputusan Walikota Baubau tentang pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau mengancam keharmonisan antara institusi pemerintah dengan institusi perguruan tinggi dimana Dr. Roni Muchtar, M.Pd bekerja sebagai Dosen di FKIP Univ. Haluoleo. Berdasar permintaan Walikota Baubau A.S. Tamrin, telah disetujui perbantuannya oleh Rektor Univ. Haluoleo sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Nomor 4896/UN29/KP/2021. Adab antar lembaga mestinya dijadikan perhatian untuk menciptakan sinergitas dalam berpemerintahan.
7. Persetujuan Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat bukan saja dalam pengangkatan dan pemberhentian pejabat Sekda kabupaten/kota secara defenitif melainkan meliputi pula pengangkatan penjabat Sekda kabupaten/kota. penunjukan penjabat Sekda Kota Baubau pengganti sementara Roni Muchtar harus memerlukan pula persetujuan Gubernur sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah.
Selain itu, penunjukan penjabat Sekda kabupaten/kota bukan kewenangan Bupati/Walikota melainkan kewenangan Gubernur. Penunjukan penjabat Sekda kabupaten/kota oleh Gubernur diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 91 Tahun 2019 tentang Penunjukan Penjabat Sekretaris Daerah. Dengan demikian, kewenangan Bupati/Walikota dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Sekda defenitif serta pengangkatan penjabat Sekda tidak bersifat penuh dikarenakan sebagian kewenangan berada pada Gubernur.
Analisis dari Aspek Administratif
Memperhatikan surat penyampaian pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Nomor: 880/770/Setda, yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Cq Gubernur Sultra [(Cq= Casu Quo diartikan: “dalam hal ini” dan “lebih spesifik lagi”). Cq umumnya digunakan dalam suatu hubungan yang bersifat hirarkis. Jadi, Cq digunakan untuk menerangkan dan/atau menunjukkan pihak secara lebih detail, spesifik atau khusus], menunjukkan bahwa:
1. Mendagri adalah atasan Gubernur;
2. Pengangkatan dan pelantikan Sekda kabupaten/kota (baca: Roni Muchtar) direkomendasikan oleh Mendagri; dan
3. Pemberhentian Sekda kabupaten/kota (baca: Roni Muchtar) direkomendasi dari Mendagri.
Penyampaian surat Walikota Baubau kepada Mendagri menyalahi mekanisme administratif, karena:
1. Mendagri bukanlah atasan Gubernur atau Gubernur bukanlah jabatan yang berada dibawah jenjang hirarkis Kementerian Dalam Negeri;
2. Pengangkatan dan pelantikan Sekda kabupaten/kota (baca: Roni Muchtar) perlu rekomendasi persetujuan dari Gubernur; dan
3. Pemberhentian Sekda kabupaten/kota (baca: Roni Muchtar) perlu rekomendasi persetujuan dari Gubernur.
Implikasi dari kesalahan prosedur administratif demikan menambah daftar ketidakabsahan Keputusan pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau. Akumulasi dari ketidakabsahan dari aspek filosofis, kelemahan dari aspek yuridis, dan kesalahan dari aspek administratif pemberhentian Roni Muchtar membawa dampak samping secara sosiologis, munculnya kegaduhan yang berpotensi terjadinya pembelahan sehingga dapat merugikan masyarakat Kota Baubau.
Oleh karena itu, setiap Keputusan yang dibuat oleh badan/pejabat yang berwenang senantiasa memperhatikan asas-asas hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan agar keputusan yang dilahirkan bersenyawa dengan Pasal 152 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai landasan utama dan mendasar dalam setiap pembuatan Keputusan.
Dengan berpegang pada analisis yang telah disajikan, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat menolak pemberhentian Roni Muchtar karena Keputusan Walikota La Ode Ahmad Monianse yang memberhentikan Roni Muchtar sebagai Sekda dibuat tanpa adanya rekomendasi/persetujuan dari Gubernur Ali Mazi. Terdapat ketidakwenangan dalam pembuatan Keputusan yang dikeluarkan secara substansi atau materi, karena tidak dilandasi rekomendasi dari Gubernur.
Dengan tiadanya rekomendasi, berakibat hukum pada Keputusan yang dibuat oleh Walikota tidak sah. Keputusan yang tidak sah itu menjadi batal, yang membatalkan adalah pemerintah itu sendiri.
Berdasar kewenangan yang diberikan dalam peraturan perundang-undangan, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam kapasitas menjalankan fungsi di bidang pemerintahan dan pengawasan patut merekomendasikan pembatalan Keputusan pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau kepada Walikota Baubau.
Penulis: Pengajar Hukum Tata Negara Unidayan Baubau