Oleh: Maolana Moh Sah, S.Psi., M.Si.
(Narakomen)
Baru-baru ini viral beberapa kampus negeri dan swasta melakukan orasi, entahlah, apakah itu orasi akademik atau politik. Tapi karena dilakukan di wilayah kampus dan dilakukan oleh para dosen dan pejabat kampus yang bertitel magister, doktor hingga profesor, maka dinilai sebagai orasi akademik dan sangatlah netral serta objektif. Tapi itu salah satu jenis persepsi yang bernama hukum proximity dalam teori Gestalt.
Proximity adalah salah hukum presepsi di teori gestalt yang menganggap satu dengan lainnya yang saling berdekatan merupakan satu kesatuan. Padahal fenomenanya, sesuatu yang saling berdekatan belum tentu memiliki hubungan satu sama lain.
Selain itu, titel akademik bukanlah pemegang kebenaran. Tapi jika anda mengatakan seperti yang dikatakan Pak Anies di berbagai media online “Kalau kampus-kampus sudah mulai menyuarakan, artinya ada masalah yang serius. Ini perlu jadi perhatian kita semua,” berarti kita sudah mengkultuskan kampus sebagai satu-satunya tolak ukur adanya masalah.
Dalam logika, itu merupakan Appeal to authority yang merupakan kekeliruan dalam berlogika (fallacy) dikarenakan menyatakan bahwa sesuatu adalah benar karena hal tersebut disampaikan oleh orang yang dipandang ahli tanpa menyampaikan sebab dari benarnya sesuatu tersebut.
Jika benar suara kampus menandakan ada masalah serius. Bagaimana dengan suara orang-orang miskin disaat kelaparan, bagaimana suara masyarakat yang terkena banjir, bagaimana suara rakyat ketika koruptor menghabiskan uang mereka. Apakah itu bukan tanda kalau keadaan tidak baik-baik saja dan itu merupakan masalah yang serius?
Membahas keadilan, kesejahteraan atau kebebasan dalam berpendapat. Akademisi kampus menggali permasalah tersebut di rakyat. Sebab permasalahan negara ini ada di rakyat bukan di elit akademis. Oleh sebab itu, suara rakyat adalah tolak ukur untuk mengidentifikasi apakah ada masalah di negara ini atau semua baik-baik saja. Bukan dari mulut-mulut elit akademis yang datangnya hanya diujung hari pemilihan umum dimulai.
Jadi, untuk menghindari fallacy dan pengkultusan terhadap kampus serta elit-elit akademis, saya pinjam perkataan Rocky Gerung “Ijazah adalah tanda anda pernah sekolah, bukan tanda anda pernah berpikir.” Oleh sebab itu yang bertitel magister, doktor maupun profesor yang kerjanya di kampus, tidak bisa dijustifikasi kalau mereka adalah kebenaran, melainkan kita harus meragukan diri mereka, seperti mereka harus meragukan ilmu mereka untuk melahirkan ilmu pengetahuan yang baru.
Suara kampus bukan pertanda bahwa ada masalah yang serius. Tapi kampus merupakan pusat masalah yang ada di dunia ini. Pegadaian itu tidak bisa dibandingkan dengan kampus. Taukah anda, di kampus itu harus memiliki banyak masalah agar penelitian dapat tercipta dengan progresif. Selain itu, kampus memiliki masalah lain, misalnya; pelecehan seksual, politik praktis ketika pemilihan rektor, dekan atau mungkin ketua jurusan, politik identitas yang berfokus kepada etnis atau golongan dalam satu agama.
Guru Gembul pun pernah perkata, bahwa penelitian di kampus lebih diutamakan kuantitasnya daripada kualitasnya. Bukan hanya itu, untuk menyelamatkan akreditasi kampus, fakultas atau jurusan. Mereka meluluskan mahasiswa mereka sesuai dengan jumlah yang diharuskan. Oleh sebab itu, mereka tidak mengutamakan kualitas wisudawan dan wisudawati mereka.
Kampus pun bukan pusat kebenaran mutlak? Sebab ketika kampus mengklaim dirinya memiliki kebenaran yang mutlak, maka kampus bukanlah dunia pendidikan lagi, melainkan sekutu Tuhan itu sendiri. Oleh sebab itu, bertanyalah kepada mereka, darimana saja kalian, tiba-tiba muncul lalu menyatakan agar netral, tetap di koridor demokrasi dan lain sebagainya.
Selain itu, ada salah satu kampus yang mengatakan kampus mereka yang berdiri paling depan dalam menghadapi peristiwa yang besar di negeri ini. Saya pikir pelabelan tersebut bukanlah bersifat akademis. Coba seandai kampusnya ada di Papua, saya yakin bukan kampus itu yang di depan. Dan para pendahulu mereka pun yang berjasa di negara ini, tidak bisa disamakan dengan orang-orang yang ada di kampus mereka sekarang. Mungkin saja orang yang sekarang hanya nebeng di nama kampus yang sudah besar dari dulu. Jadi apakah kita masih menjadikan mereka tolak ukur kalau ada masalah yang serius?
Para dosen dan pejabat kampus yang bertitel S2, S3 maupun profesor. Darimana diri kalian, kenapa disaat mendekati pemilihan kalian baru muncul. Apakah kalian murni menyuarakan suara akademisi atau kalian nebeng di dalam kontestasi politik praktis sekarang saja?
Wahai kalian elit-elit akademis, netralitas mana yang kalian maksud, apakah ada orang yang betul-betul netral. Apakah disaat kalian menggugat, maka disitulah ketidak netral-an kalian. Tolak ukur mana orang dikatakan netral dan penafsiran siapa yang digunakan? Di internal kampus saja, masih ada yang mencampurkan antara kebenaran golongannya untuk mengintervensi pengetahuan.
Jika memang betul ada masalah di Presiden dan penjabat lainnya. Seharusnya kalian berorasi seperti begitu di media sosial dari dulu, buka disaat-saat mendekati hari pemilihan. Atau kalian pikir, selama ini tidak ada masalah yang muncul di masyarakat, sehingga kalian tidak bisa bersuara di medan perang? Apakah ini hanya skenario yang kalian gunakan dengan menggunakan label kampus dan titel kalian untuk menjatuhkan satu orang dan menaikan orang lain. Entahlah apa sebenarnya tujuan kalian sebenarnya.
Peristiwa dari UGM, UII, UI hingga UNHAS saat ini seperti peristiwa latah saja, ikut-ikutan tidak punya pendirian. Kenapa sikap kritis kalian berdekatan. Apa ini adalah koalisi antar kampus, atau bagaimana. Saya bingung dan curiga.
Dugaan terbesarku, gerakan kalian disebabkan Pak Jokowi mengatakan bahwa Presiden dan wakil Presiden bisa berkampanye, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Tapi undang-undang ini kan sudah ada semenjak bulan April 2023. Kenapa baru bersuara, apakah kemarin bisu atau belum ada instruksi dari seseorang atau kelompok untuk bersuara?
Entahlah kalian sesibuk apa kemarin sehingga batu muncul saat-saat ini.
Darimana saja kalian, selama ini?