Menu

Mode Gelap
Menebak Arah Kasus Supriyani Tepis Isu Amplop Kepala Desa, Ketua APDESI Sultra Bentuk Satgas Anti Money Politik Oknum TNI AL di Kendari Diduga Hamili Kekasihnya, Korban Minta Keadilan! Diduga Lakukan Pengrusakan dan Penyerobotan, Warga Desa Tapuhaka Dipolisikan Truck Pengangkut Ore Nikel Milik PT Karyatama Konawe Utara Terbalik

Opini · 13 Mar 2024 11:57 WITA ·

Kala Hujan Tak Lagi Menjadi Rahmat, Salah Siapa?


 Kondisi Kota Kendari yang dilanda banjir. Foto: Istimewa Perbesar

Kondisi Kota Kendari yang dilanda banjir. Foto: Istimewa

Oleh: Teti Ummu Alif

(Pemerhati Masalah Umat)

Barangkali di sana ada jawabnya

Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita

Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa

Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita

Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang

Penggalan lagu lawas di atas tampaknya patut untuk direnungi bersama. Pasalnya, akhir-akhir ini hujan seolah bukan lagi membawa rahmat, melainkan bencana. Betapa tidak, banjir besar kembali melanda sejumlah wilayah di Kota Kendari. Tak ayal hal ini membuat warga panik ketika hujan deras mengguyur.

Sebab, berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Kendari, tercatat sebanyak 7 kecamatan dan 779 Kepala Keluarga (KK) terdampak musibah banjir dan tanah longsor. Bahkan banjir bandang kali ini telah menelan korban jiwa.

Melihat situasi tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari resmi menetapkan status tanggap darurat banjir. Berlaku mulai 7 Maret hingga 10 Maret 2024. Langkah tersebut diambil dengan mempertimbangkan data BMKG mengenai curah hujan sedang hingga lebat masih akan melanda Kota Kendari hingga tiga hari ke depan (Kendari pos 8/4/2024).

Sebelumnya Kepala BMKG Kendari, Sugeng Widarko membeberkan curah hujan sedang dan tinggi di Kota Kendari disebabkan oleh adanya belokan angin (shearline) yang dapat meningkatkan pertumbuhan curah hujan. Selain karena pengaruh arah belokan angin, Kepala BMKG menyebut fenomena ini juga dipengaruhi oleh Madden Julian Oscillation sehingga berkontribusi terhadap peningkatan curah hujan di wilayah Kendari.

Lagi-lagi karena curah hujan yang tinggi dengan kondisi cuaca yang ekstrem, dianggap sebagai penyebab banjir. Benarkah banjir terjadi semata karena curah hujan? Atau ada kajian lain terkait penyebab banjir?

Perlu dipahami bahwa penyebab banjir tidaklah bersifat tunggal, demikian pula penanganannya. Meski curah hujan akibat perubahan iklim selalu dituding sebagai penyebab banjir yang utama. Namun kajian penyebab banjir dapat melebar ke berbagai aspek.

Ya, memang benar jika curah hujan dan cuaca menjadi salah satu penyebabnya. Akan tetapi, alam dengan segala keseimbangannya menjadi tidak stabil saat aktivitas manusia menggeser penopang siklus alami alam. Perubahan iklim yang ekstrem dan kerap terjadi saat ini tentu tidak terjadi begitu saja. Terdapat sekian banyak kajian ilmiah yang menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas manusia terhadap perubahan iklim.

Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perubahan iklim terjadi karena komposisi atmosfer global yang terpengaruh aktivitas manusia. Penebalan lapisan atmosfer menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer makin banyak. Peningkatan konsentrasi gas inilah yang mengakibatkan efek rumah kaca, yakni proses peningkatan suhu bumi.

Kondisi ini meningkatkan jumlah air di atmosfer sehingga curah hujan meningkat. Saat curah hujan besar dengan intensitas padat turun tanpa adanya lahan yang menampung debit air tersebut, jelas akan meluap dan mengakibatkan banjir. Di sisi lain, alih fungsi lahan karena pembangunan masif dan tidak memperhitungkan dampak lingkungan, membuat debit air tidak tertampung secara normal. Sampah-sampah yang menumpuk pun turut memperparah kondisi ini. Alhasil, banjir pun tak terelakkan.

Jika ditelisik, aktivitas manusia yang menggeser kestabilan bumi ini berakar dari keserakahan manusia. Pembangunan yang kapitalistik ini dikejar sebagai turunan dari kebijakan-kebijakan kapitalistik pula. Alih fungsi lahan banyak terjadi tatkala materi menjadi orientasi para pengambil kebijakan.

Bukan rahasia lagi mengenai intervensi besar para pemodal di lingkar kekuasaan. Fakta terjadinya reklamasi pantai, daerah resapan air yang beralih fungsi menjadi perumahan elite, ataupun tempat wisata, hanyalah satu dari sekian realitas yang terjangkau mata. Ekosistem perkotaan berubah menjadi hutan beton untuk mengejar apa yang mereka sebut sebagai “pertumbuhan ekonomi”. Rencana tata ruang wilayah pun mudah diutak-atik sesuai kepentingan pemodal. Analisis dampak lingkungan dalam pembangunan pun seakan formalitas yang pada akhirnya menguap mengikuti kepentingan para kapitalis.

Pemanfaatan ruang dengan pola yang mengikuti kepentingan segelintir orang ini gagal mewujudkan ruang inklusif bagi masyarakat. Cita-cita mewujudkan green city yang kerap menjadi “nyanyian” penguasa, bahkan bersifat eksklusif bagi masyarakat umum. Lihatlah betapa di beberapa wilayah perkotaan, para pemodal hadir dalam bisnis perumahan yang konon katanya bebas banjir serta pemandangan asri dengan embel-embel hunian masa depan. Realitasnya, slogan hunian ramah lingkungan ini hanya ada di lingkungan hunian elite kaum pemodal.

Sangat jelas betapa pembangunan yang katanya “ramah lingkungan” ini malah bersifat eksklusif. Perumahan elite yang bebas banjir dengan fasilitas publik yang mereka sebut ramah lingkungan justru berdampak pada rusaknya lahan penduduk di sekitarnya. Bisa jadi banjir tidak melanda hunian elite itu, tetapi daerah sekitarnya lah yang terdampak buah dari ambisi mewujudkan “perumahan bebas banjir”.

Hunian ramah lingkungan kini pun semacam privilese yang hanya terjangkau golongan elite, sedangkan masyarakat berpenghasilan rendah harus puas bertaruh di kawasan rawan banjir atau terdampak banjir.

Lain hal dengan spirit pembangunan dalam Islam. Negara tidak akan melakukan alih fungsi lahan dan memenuhi kepentingan segelintir orang demi meraih pertumbuhan ekonomi. Dalam membangun, negara harus mempertimbangkan prinsip-prinsip pengelolaan lahan yang bersifat universal. Sejatinya, terdapat kondisi alam yang memang tidak dapat manusia intervensi. Jika terjadi secara alami, kondisinya tidak akan memengaruhi kestabilan alam. Oleh karenanya, manusia dilarang untuk melakukan aktivitas yang mengganggu keseimbangannya.

Sebaliknya, bencana terjadi saat keseimbangan alam terganggu oleh aktivitas manusia. Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Ar-Rum: 41).

Dalam pembangunan, negara wajib memperhatikan pembangunan infrastruktur yang dapat menampung curah hujan dari daerah aliran sungai dalam jumlah besar dengan membangun bendungan. Pada masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Bukti empiris atas hal ini masih dapat kita saksikan di beberapa wilayah, yakni kala Islam pernah berkuasa di wilayah Iran maupun Turki, misalnya.

Negara juga akan membangun kanal ataupun saluran drainase untuk mengurangi dan memecah jumlah air dalam jumlah besar agar mengalir ke tempat lain yang lebih aman. Secara berkala, negara akan melakukan pengerukan lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air untuk mencegah terjadinya pendangkalan. Tentu ada pemukiman penduduk di wilayah pesisir.

Untuk itu, negara akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terdampak banjir rob atau kapasitas serapan tanah yang minim. Negara akan merumuskan kebijakan khusus bagi masyarakat di wilayah tersebut dan membuat skenario agar penduduk setempat tetap dapat mengakses kebutuhan air secara normal, entah dengan membangun sumur, penampungan air, atau sejenisnya.

Mengedepankan pembangunan yang ramah lingkungan tentu menjadi visi dalam model pemerintahan Islam. KeKhalifahan Islam yang pernah hadir dalam sejarah peradaban telah membuktikan visi tersebut. Masihkah kita ragu? Wallahu a’lam.**)

Artikel ini telah dibaca 95 kali

badge-check

Publisher

Baca Lainnya

Menyongsong Perkembangan Zaman dengan Penguatan Literasi

14 November 2024 - 13:35 WITA

Drama Penganiayaan Di Baito, Menjadi Guru Gampang?

6 November 2024 - 19:03 WITA

Menebak Arah Kasus Supriyani

27 Oktober 2024 - 13:38 WITA

Kepemimpinan Prabowo: Upaya Pemulihan Kepercayaan Publik terhadap Kepatuhan pada Konstitusi

20 Oktober 2024 - 13:16 WITA

Memilih Calon Kepala Daerah yang Dikehendaki Masyarakat

17 Oktober 2024 - 12:28 WITA

Desa sebagai Kunci Penentu Kemenangan Rakyat dalam Pemilihan Gubernur Sultra

16 Oktober 2024 - 12:53 WITA

Trending di Opini