KONAWE UTARA – Kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Lasolo di Konawe Utara seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan ekosistem pesisir yang vital. Mulai dari hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, hingga habitat biota laut endemik. Lebih dari itu, kawasan ini berdekatan dengan wilayah wisata unggulan seperti Labengki dan Sombori, yang memiliki nilai ekologis tinggi dan potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi ekowisata berkelanjutan.
Namun, realitas menunjukkan kontradiksi serius: TWAL Teluk Lasolo justru menjadi jalur lalu lintas kapal tambang, sebuah praktik yang secara langsung mengancam fungsi ekologis kawasan konservasi.
Situasi ini menggambarkan lemahnya sistem perlindungan dan pengawasan di kawasan konservasi laut Sulawesi Tenggara, sekaligus mempertanyakan konsistensi kebijakan negara dalam menjaga ruang hidup pesisir. Salah satu perusahaan tambang, PT Sinar Jaya Sultra Utama (SJSU), telah menyatakan komitmennya terhadap regulasi dengan mengajukan izin lintas kawasan.
Namun, komitmen ini tidak menjawab pertanyaan mendasar: mengapa kawasan konservasi bisa menjadi jalur sah bagi aktivitas tambang? Lebih jauh, apakah seluruh proses perizinan telah berbasis pada kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup laut?
Fakta penting menunjukkan bahwa 12 perusahaan telah mengantongi izin lintas kawasan konservasi, termasuk PT Antam dan PT Makmur Lestari Primatama. 16 perusahaan lain sedang dalam proses, termasuk PT SJSU. Beberapa perusahaan tidak memiliki dermaga (jetty), membuka celah terhadap praktik logistik tidak terkendali yang berpotensi melanggar batas kawasan konservasi.
PUSPAHAM Sulawesi Tenggara menuntut evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin lintas di kawasan TWAL Teluk Lasolo, moratorium lalu lintas kapal tambang di dalam dan sekitar kawasan konservasi laut, transparansi penuh dan pelibatan publik dalam proses perizinan serta pengawasan kawasan konservasi, penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelanggaran oleh perusahaan tambang, dan penguatan kapasitas kelembagaan.
“Kawasan konservasi bukan zona kompromi. Ia adalah ruang lindung terakhir yang harus kita jaga dari ekspansi industri yang merusak. Konawe Utara tidak boleh menjadi panggung tragedi ekologis berikutnya di Indonesia,” tegas Kisran Makati, Direktur PUSPAHAM Sulawesi Tenggara.(red)












