Oleh: La Ode Inta
Mantan Ketua MPM Universitas Halu Oleo (UHO) tahun 2018
Di setiap pidato kebangsaan, dalam setiap visi pembangunan lima tahunan, kata-kata romantis yang punya kuasa seperti bonus demografi, generasi emas,dan Indonesia Maju kerap digaungkan, kerap di gemakan di sudut-sudut forum. Pemerintah bercita-cita membawa Indonesia menjadi negara industri unggul, digital, dan berdaya saing global. Namun, ada sebuah ironi yang semakin nyata yaitu lulusan kampus justru tidak banyak diserap oleh industri-Industri.
Ratusan ribu sarjana senior bahkan sarjana junior dilepas setiap tahun, namun tak sedikit dari mereka menganggur atau bahkan bekerja di bidang yang tak sesuai keahlian akademiknya. Sebagaimana data BPS menunjukan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus 2025 kurang lebih 7,46 juta orang, nah angka ini tidak main-main karena memang para sarjana lulusan kampus termasuk berkontribusi atas angka tersebut.
Kampus mencetak banyak pemikir, tapi industri mencari pemecah masalah. Kampus mengajarkan teori, industri menuntut keterampilan praktis. Maka di sinilah benturan mulai terasa.
Kampus: Menara Gading yang Kian Menjauh dari Dunia Nyata
Banyak perguruan tinggi masih berkutat pada model pendidikan konvensional mengedepankan hafalan, nilai IPK, dan teori-teori lama. Mahasiswa dikejar lulus cepat, akan tetapi bukan lulus siap kerja. Praktikum sering tak memadai, link and match dengan pelaku dunia usaha nyaris minim, apalagi untuk kampus-kampus di luar kota besar.
Apa Solusinya?
- Reformasi Kurikulum Adaptif
Kampus harus berani mendesain ulang kurikulum. Libatkan pelaku industri dalam menyusun materi ajar agar mahasiswa tak sekadar pintar di kertas.
- Perluas Link & Match
Magang bukan formalitas. Harus menjadi pengalaman nyata dan relevan. Kampus perlu berperan aktif menjalin kerja sama dengan perusahaan untuk membuka ruang praktik luas bagi mahasiswa.
- Dorong Kewirausahaan dan Soft Skill
Mahasiswa perlu dibekali cara berpikir kritis, kepemimpinan, komunikasi, cara mengelola usaha dengan baik serta kemampuan beradaptasi, bukan hanya teori semata
- Digitalisasi dan Pendidikan Vokasi
Harus ada keseriusan mengembangkan pendidikan vokasi berbasis teknologi yang cepat menyesuaikan dengan arah industri global.
Mimpi Tak Cukup, Harus Ada Jalan keluarnya
Kita bermimpi menjadi negara maju itu sah-sah saja. Tapi mimpi tanpa kesiapan hanya menjadi beban. Dan pendidikan tinggi yang tidak terhubung dengan industri hanyalah penghasil ijazah & produser pengangguran bukan penggerak perubahan.
Sudah waktunya Indonesia memutus ironi ini. Bangun jembatan yang kokoh antara kampus dan industri. Bukan hanya mencetak sarjana, tapi membentuk tenaga kerja yang tangguh, terampil, relevan, dan siap menciptakan masa depan, karena negeri maju bukan soal jumlah gelar.
Akibatnya, ketika lulusan keluar, mereka seperti dilempar ke medan perang tanpa pelatihan tempur. Maka tak heran ketika industri kesulitan menemukan tenaga kerja siap pakai, meski jumlah sarjana terus meningkat drastis.
Industri: Membuka Pintu, Tapi Tak Menemukan Kunci yang Cocok
Di sisi lain, dunia industri juga berkembang pesat dan cepat. Revolusi industri 4.0, digitalisasi, hingga kecerdasan buatan, semua menuntut keterampilan baru. Mereka butuh tenaga kerja yang tidak hanya pintar, tapi lincah, adaptif, terampil, dan inovatif.
Namun, saat mereka mencari ke kampus, sering yang datang adalah lulusan dengan ijazah bagus, IPK tinggi bahkan cumlaude tapi minim kemampuan praktikal. Ada kesenjangan antara silabus akademik dan kebutuhan pasar industri. Maka, muncullah istilah mismatch gelar tak sejalan dengan keahlian yang dibutuhkan industri.
Siapa yang Salah? Sistem yang Tertinggal
Ini bukan hanya salah kampus, juga bukan sepenuhnya salah industri. Ini adalah soal sistem pendidikan tinggi yang tertinggal dari realitas kerja. Sistem yang belum fleksibel, belum kolaboratif, dan belum responsif terhadap perubahan dunia nyata.
Dunia kerja bergerak cepat, tapi kurikulum berjalan lambat. Dunia industri butuh pengalaman, kampus memberi laporan magang singkat. Dunia kerja butuh soft skill, kampus masih sibuk menilai angka. Akan tetapi soal kesesuaian antara ilmu, keterampilan, dan kebutuhan zaman.









