PENAFAKTUAL.COM – Satya Bumi bersama Sagori, LSM dari Pulau Kabaena, Fern dan Rainforest Norway (RFN) menghadiri OECD Forum on Responsible Mineral Supply Chains yang digelar pada 5–7 Mei 2025 lalu di Paris, Prancis.
Dalam forum internasional ini, Satya Bumi membawa suara masyarakat Kabaena, pulau kecil di Sulawesi Tenggara yang kini menjadi episentrum dampak krisis nikel akibat ekspansi industri kendaraan listrik global.
Dalam sesi bertajuk EU Electric Vehicle Targets: Assessing Human Rights Implications, Deforestation Risks and Industry Readiness, Satya Bumi memaparkan kondisi nyata di lapangan: penderitaan masyarakat lokal, krisis lingkungan, serta lemahnya perlindungan hukum di Indonesia, berkaca pada kasus di Kabaena, sebuah pulau kecil di Sulawesi Tenggara.
Kabaena, pulau seluas hanya 891 km², saat ini dibebani oleh 15 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total konsesi mencapai 655 km². Dari tahun 2001 hingga 2022, pulau ini telah kehilangan 3.374 hektar tutupan hutan, termasuk 24 hektare hutan lindung, akibat deforestasi masif untuk membuka jalan bagi pertambangan nikel.
“Apakah benar bijih nikel dan baja tahan karat dari negara kami memang digunakan untuk transisi energi? Bukan untuk perang atau mendukung pendudukan dan genosida? Bagaimana kami, rakyat Indonesia, bisa mengetahui hal itu jika tidak ada informasi rantai pasok yang transparan?”, ujar Hayaa dalam pernyataannya di forum tersebut.
Dalam kesempatan itu, Satya Bumi juga menyampaikan hasil riset terbaru yang menunjukkan pencemaran berat di perairan Kabaena. Kandungan logam berat seperti nikel, kadmium, arsen, merkuri, dan timbal ditemukan dalam sampel air laut dan kerang, menjadikannya tidak aman untuk dikonsumsi.
Uji laboratorium terhadap urin warga menunjukkan konsentrasi nikel berkisar antara 4,77 hingga 36,07 mikrogram per liter—5 hingga 30 kali lipat lebih tinggi dari populasi umum. Kadar logam berat dalam air laut mencapai 200 persen hingga 7000 persen di atas ambang batas aman yang ditetapkan oleh WHO dan EPA (Badan Perlindungan Lingkungan AS).
Paparan tesebut telah dikaitkan dengan tingginya kasus kanker, gangguan pernapasan akut, hingga kebutaan sebagian.
“Inilah kondisi faktual dimana mereka yang paling banyak mendapat keuntungan jarang sekali yang benar-benar mengambil tanggung jawab secara tulus. Untuk meminta persetujuan. Untuk berinteraksi dengan komunitas secara hormat. Sejauh ini, kami melihat belum ada upaya nyata untuk memastikan akuntabilitas keterlacakan di hulu, menggabungkannya dengan uji tuntas yang transparan, atau memulihkan lingkungan yang rusak dan komunitas yang terusir,” ungkap Hayaa dalam forum yang juga dihadiri perwakilan perusahaan kendaraan listrik dunia.
Hayaa juga menekankan urgensi penerapan standar internasional di tempat-tempat yang paling membutuhkannya yaitu di lokasi tambang ekstraktif.
“Setiap pemangku kepentingan harus memahami bahwa legislasi nasional Indonesia masih lemah. Mulai dari penilaian awal, pembangunan proyek, proses ekstraksi, hingga mekanisme pemulihan dan pelaporan perlindungan yang semestinya ada sering kali tidak memadai atau bahkan diabaikan,” tegas Hayaa.
Dalam forum ini, Satya Bumi menyampaikan tiga desakan utama:
1) Dorongan kepada komunitas internasional untuk menekan Pemerintah Indonesia agar mereformasi sistem perlindungan hukum yang lemah, mulai dari tahap perencanaan proyek hingga mekanisme pengaduan.
2) Pentingnya mekanisme pemulihan yang kuat, terutama untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Sulawesi, Halmahera, dan Papua yang terdampak parah akibat ekstraksi nikel.
3) Hentikan eksploitasi nikel Indonesia demi keuntungan ekonomi atau politik yang dibungkus dengan narasi “transisi energi yang adil.” Transisi yang benar adalah transisi yang tidak mengorbankan masyarakat dan lingkungan lokal.(red)