Oleh: Zafiludin
Demokrasi yang kita anut saat ini merupakan kehendak zaman. Ketika semua elemen anak bangsa 20 tahun yang lalu, menuntut adanya kebebasan tidak hanya untuk menyampaikan pendapat di depan umum, tetapi juga untuk mengatur seluruh sistim kehidupan berbangsa dan bernegara agar diselenggarakan dengan sangat terbuka.
Peristiwa 98 bukan hanya refleksi atas tirani yang dipelopori oleh Orde Baru, melainkan karena kehendak hak dasar rakyat sebagai manusia merdeka. Selama 32 tahun otoritarianisme telah membungkam suara kebebasan. Jangankan untuk bertindak atas kehendaknya sebagai rakyat yang memberi mandat kepada pemimpin, bahkan untuk bermimpi pun tidak boleh.
Praktek otoritarianisme yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade, telah menggerogoti hak-hak kemanusiaan dan bertentangan dengan sifat dasar manusia yang menghendaki kebebasan berekspresi dan berkreasi dalam menjalani kehidupannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Demokrasi hadir untuk membuka tabir gelap antara penyelenggara negara dengan pemberi mandat. Demokrasi datang atas kehendak luhur rakyat yang menghendaki sistim tata pemerintahan terbuka dan dapat disaksikan oleh mata telanjang rakyat sebagai pemegang kendali tertinggi.
Demokrasi mengamanatkan kepada seluruh penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, untuk menjalankan pemerintahan dengan sistim terbuka apa adanya tanpa ada yang ditutup tutupi. Sehingga memungkinkan rakyat bisa mengontrol jalannya negara. Sebab jika negara masih menaruh tabir pembatas dengan pembayar pajak, maka di sanalah ruang kongkalingkong terjadi yang menyebabkan kerugian pada keuangan negara.
Di dalam amandemen ke-4, undang-undang kita menempatkan rakyat lebih penting dari pada negara. Oleh karena itu, kebebasan rakyat, hak-hak rakyat tidak boleh dibatasi dan dihentikan atas nama dan untuk negara. Rakyat adalah pembayar pajak. Rakyat adalah komponen paling utama dalam tubuh bangsa dan negara. Sebagaimana negara dibentuk dengan tujuan untuk menyelenggarakan satu sistim pemerintahan yang mengatur kehidupan dan hajat hidup orang banyak.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, negara haruslah merepresentasikan kehendak rakyat. Para pejabat terutama eksekutif dan legislatif mestilah mengerti akan hal ini. Sehingga ia tidak berpemerintahan atas kehendak sendiri dan bermotif pribadi.
Idealisme dan Money Politik
Demikian luhurnya kehendak demokrasi yang kita anut. Menghargai hak-hak rakyat dan kemudian memberi mereka kebebasan berekspresi. Sehingga seharusnya lah para pejabat, baik eksekutif maupun legislatif berperilaku sebagai pelayan, bukan perampas kebebasan.
Pejabat negara-daerah (eksekutif dan legislatif) yang memahami ini, maka akan mengedepankan moralitas dalam mengelola pemerintahan. Mereka harus menghadirkan gagasan cemerlang dan memberikan peta jalan bagi rakyat tentang konsep ke arah mana negara akan dibawa.
Pejabat mestinya mengemukakan isi kepalanya sebelum ia menjabat, supaya rakyat bisa menilai dan meyakini bahwa ia layak untuk memimpin dan membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik. Penting bagi pejabat atau calon pejabat menghadirkan ide-ide yang ideal di mana dengan itulah ia akan memimpin dan menyalurkan keinginan rakyat.
Dalam kerangka sistim seperti ini, rakyat haruslah diposisikan sebagai subjek dalam bernegara terutama pada proses pesta berdemokrasi. Rakyat mesti disuguhkan keragaman gagasan, bukan ketebalan finansial. Gagasan dan idealisme para pejabat mesti dikedepankan untuk mengukur kemampuan serta kepatutannya dalam memimpin.
Inilah modal utama yang dikehendaki dalam sistim pemerintahan ala demokrasi.
Pada prakteknya, demokrasi memang selalu dicederai oleh praktek-praktek kotor. Di mana finansial dan money politik menjadi faktor paling menonjol di setiap perhelatan pesta demokrasi. Dalam posisi demikian, rakyat dijadikan objek yang suaranya hanya dihargai dengan nilai nominal.
Praktek money politik yang terus mewarnai perpolitikan kita, telah mengakar sedemikian lama hingga menjalar pada sistim perpolitikan sampe ke tingkat paling bawah. Ini seperti penyakit kronis demokrasi yang sampai saat ini masih sulit disembuhkan. Bahkan telah menciptakan sebuah lingkaran setan. Di mana rakyat menjadikannya tolok ukur kelayakan pemimpin yang akan dipilih.
Dampaknya, rakyat tidak lagi peduli dengan nasibnya selama lima tahun kepemimpinan. Mereka seperti hilang kesadaran bahwa dengan menentukan pilihan berdasarkan kertas berangka, maka sesungguhnya ia telah menggadaikan keperluan hidupnya selama lima tahun.
Dampak yang paling berbahaya dari tradisi ini adalah korupsi makin merajalela yang pada akhirnya semakin jauh jarak antara kita dan kesejahteraan.
Penulis adalah pemuda Pulau Maginti