Menu

Mode Gelap
Tiga Napi Korupsi di Sultra Dapat Asimilasi dari Pihak Ketiga, Salah Satunya Keponakan Gubernur Dari Kebun ke Gerbang Masa Depan: Menghadapi Cemohan dan Mencapai Impian Ridwan Bae: PT SCM dan Perkebunan Sawit Penyebab Banjir di Jalur Trans Sulawesi Korban Tenggelam di Pantai Nambo Ditemukan Meninggal Dunia Pembentukan Kaswara: Langkah Awal Kolaborasi Alumni SMP Waara

Hukrim · 27 Nov 2025 19:47 WITA ·

BDM Didakwa Pelecehan Anak, Kuasa Hukum Sebut Ada Rekayasa


 Andri Darmawan Perbesar

Andri Darmawan

KENDAR – Kuasa Hukum BDM, terdakwa kasus dugaan pelecehan anak di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Andri Darmawan buka soal dugaan peradilan sesat, dengan adanya upaya merekayasa perkara yang ditangani kepolisian, hingga di sidangkan oleh Jaksa Penutut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri (PN) Kendari.

Menurut Andri, aroma manupulasi serta merekayasa dalam penanganan perkara tersebut tercium setelah persidangan dilangsungkan. Sebab, ada banyak hal-hal yang janggal muncul di persidangan

“Kenapa kami harus sampaikan ini karena sudah menjurus menjadi peradilan sesat, karena apa, ini seakan-akan hanya cuman formalitas saja, mengabaikan prosedur sebagaimana yang diatur dalam KUHP, sehingga terdakwa tidak punya kesempatan untuk membela diri dengan layak,” ucap dia kepada awak media, Kamis, 27 November 2025.

Andri mengatakan, terdakwa BDM dilapor polisi oleh orang tua terduga korban inisal S (10), setelah dituduh melakukan tindak pidana pelecehan anak pada 21 November 2024 lalu.

Tempat dugaan pelecehan itu terjadi di rumah calon kepala daerah di Puuwatu, Kota Kendari, yang saat itu sedang ada kegiatan yasinan jelang Pemilihan Bupati (Pilbup) Konawe.

Kala itu, kliennya melihat korban sedang bermain dengan temannya, lalu kliennya memanggil terduga, memangku korban dan bertanya terkait Pancasila dan perkalian. Setelah itu korban diberi uang Rp5000, dimasukkan ke dalam kantong baju korban, lalu korban pergi.

Tidak lama kemudian, orang tua korban datang memiting korban dan menyeret sembari menunduh kliennya melakukan tindak pidana pelecehan kepada anaknya.

“Posisi kejadian di tempat umum, suasana yasinan itu ramai. Dari awal kami sudah membuka, ini tidak mungkin ada tindakan pencabulan di tempat umum,” kata dia.

Setelah berproses mulai dari pelaporan ke polisi hingga visum dilakukan keesokan harinya di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari. Kliennya kemudian ditetapkan tersangka di Polresta Kendari, karena menurut kepolisian sudah cukup bukti dengan adanya hasil visum.

Kemudian memasuki masa persidangan di PN Kendari. Disini, ia mulai menemukan adanya kejanggalan terhadap perkara kliennya. Pertama, dalam sidang hasil visum tersebut tidak pernah dihadirkan dan perlihatkan baik kepada Majelis Hakim PN Kendari maupun ke terdakwa.

“Anehnya di persidangan itu tidak pernah dimunculkan hasil visum. Kami juga sudah minta ke Majelis Hakim untuk meminta JPU menghadirkan bukti visum di dalam sidang,” katanya.

Namun, permintaan kuasa hukum kepada Majelis Hakim untuk menghadirkan hasil visum pun tidak dilakukan. Padahal kata Andri, berdasarkan Pasal 180 KUHP, hakim dapat memerintahkan menghadirkan ahli atau bukti baru untuk menjernihkan perkara.

Ia menduga keras bahwa jika hasil visum ditampilkan, akan terkuak persoalan baru yang menghebohkan. Untuk itu, pihaknya akan menyurati RS Bhayangkara Kendari terkait permintaan hasil visum korban untuk dihadirkan di persidangan.

“Kami yakin 99 persen ada yang disembunyikan dari hasil visum ini sehingga tidak ditampilkan di persidangan,” tegas Andre.

Selain itu, Andre juga menyoroti keterangan saksi anak (korban terduga pelecehan) yang berubah. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian, anak tersebut tidak pernah menyatakan merasakan tonjolan keras atau melihat terdakwa membuka resleting celana.

Namun, di persidangan, keterangan tersebut tiba-tiba muncul, dengan mengatakan ada tonjolan yang dirasakan saat dipangku, dan korban melihat terdakwa membuka resleting celananya.

“Kami tanya kenapa ini terjadi perbedaan di BAP dengan di persidangan? Anak itu menjawab, ‘Oh, saya sudah jawab, Pak, pada saat itu tapi tidak dicatat oleh kepolisian.’ Kami kan tercengang,” jelas Andre.

Andre kemudian meminta polisi yang memeriksa BAP terdakwa dihadirkan di sidang sebagai saksi verbalisan. Sebab kesaksian anak tidak bisa diterima secara sepihak, apalagi dalam KUHP anak tidak masuk dalam kategori keterangan saksi alat bukti, karena tidak di sumpah dan tidak bisa berdiri sendiri ataupun mandiri ketika mengemukakakan suatu fakta.

Namun dari beberapa kali persidangan digelar, permintaan kuasa hukum tidak pernah dipenuhi oleh JPU, dengan alasan polisi tersebut sedang bertugas, tetapi tidak ditunjukkan surat tugasnya di dalam sidang.

“Saya fikir, kalau misal dia (polisi) datang dia tidak mengakui itu, mungkin itu akan melemahkan dakwan jaksa, tapi kalau dia akui simalakama juga buat polisi, karena pasti akan dilaporkan kode etik,” tutur Andri.

Kejanggalan lainya beber Andri, adalah mengenai barang bukti pakaian anak yang tidak pernah disita penyidik di awal kasus, ketika dilaporkan orang tua korban, nanti di persidangan baru dihadirkan alat bukti tersebut.

“Nanti di persidangan baru datang dibawa pakaiannya, padahal kan seharusnya barang bukti yang ada hubungannya dengan tindak pidana itu harusnya disita mulai dari tahap penyidikan, kan kita tidak tahu dia pake rok kah, celana kah, padahal di dakwan itu dia menggunakan rok,” ungkap Andri.

Dari kejanggalan yang ia temukan guna melemahkan kliennya, Andri dan keluarga terdakwa akan melaporkan penyidik polisi terkait pelanggaran kode etik penyidikan, dan JPU yang tidak memanggil saksi verbalisan, termasuk Majelis Hakim yang tidak aktif meminta bukti penting ini guna menerangkan duduk perkara kasus dugaan tindak pidana pelecehan anak.

“Kita akan melaporkan terkait pelanggaran kode etik mulai dari oknum penyidik polisi, JPU dan Majelis Hakim,” imbuhnya.

Tak hanya itu, dirinya akan menyurat ke Ketua PN Kendari agar sidang dibuka kembali untuk menghadirkan saksi polisi dan bukti visum.

“Kita tidak ingin ada sesuatu yang disembunyikan, ada sesuatu untuk mengorbankan seseorang. Ini bukan main-main, ancamannya minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun,” tandasnya.

Sementara itu, Asriani, istri terdakwa, membenarkan kejanggalan dalam proses visum. Ia mempertanyakan mengapa hasil visum yang sudah ada menurut pengakuan polisi, tidak pernah ditampilkan.

“Polisi selalu keluar daerah, ada tugas, tidak ada buktinya. Bagaimana bisa P21?” tanya Asriani.

Ditempat yang sama, Ipar terdakwa, Yusrin Tosepu mengatakan, pihak keluarga tidak mau terlalu jauh mengitervensi terkait permasalahan hukum yang dialami iparnya.

Namun yang Yusril minta, aparat penegak hukum (APH) bisa berlaku netral, dan adil tanpa ada pihak yang dirugikan.

“Kita tidak mengintervensi putusan hakim nanti, tapi kami keluarga proses hukum ini berjalan netral, sesuai SOP yang berlaku,” ujarnya.(red)

Artikel ini telah dibaca 21 kali

badge-check

Publisher

Baca Lainnya

Ko Andi dan Timber, Dua Nama yang Disebut Terlibat dalam Kasus Korupsi Tambang Nikel

25 November 2025 - 16:48 WITA

Massa Aksi Geruduk Kejati Sultra, Desak Lili Salim Dijadikan Tersangka

25 November 2025 - 16:29 WITA

Diduga Tidak Transparan Terhadap Kasus Rokok Ilegal, Propam Polda Sultra Diminta Periksa Polres Muna

24 November 2025 - 22:17 WITA

Dari Konstatering ke Pot Bunga: Jejak Kejanggalan yang Mengarah pada Kriminalisasi KOPPERSON

24 November 2025 - 21:40 WITA

Koridor PT IBM, PT NPM, dan PT KDI Diduga Jadi Sarang Penambangan Ilegal, P3D Konut Geram!

24 November 2025 - 18:13 WITA

Massa Desak Kejati Sultra Periksa Pengacara S Diduga Otak di Balik Mafia Perizinan Tambang Kolut

24 November 2025 - 17:59 WITA

Trending di Hukrim