Oleh: Maolana Moh Sah, S.Psi., M.Si.
Sejarah Singkat Kaum Fallacy
Kira-kira pada tahun 500 SM di Yunani, muncul kelompok yang disebut dengan sofis, mereka adalah kaum pendidik yang memiliki pengetahuan khusus dalam teori atau praktis. Ada juga yang mengatakan kemunculannya sekitar tahun 450 SM-380 SM. Kapan pun itu, keberadaan mereka sangat ditentang oleh para pendiri filsafat barat, yakni Socrates, Plato maupun Aristoteles. Hal ini disebabkan karena mereka lebih berorientasi kepada ketenaran dan materi daripada substansi kebenaran itu sendiri.
Kaum sofis juga lebih suka berafiliasi dengan kaum-kaum elit atau orang kaya Yunani untuk mendapatkan kekuatan, kekayaan serta kekuasaan. Makanya, kaum ini disebut sebagai kaum yang menjual pengetahuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Selain itu, dalam rangka menjaring keteranan dan materi, kaum sofis melakukan berbagai macam cara, seperti fallacy atau biasa diartikan adalah kesalahan-kesalahan berpikir yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja demi memengaruhi orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau kelompok.
Fallacy biasa digunakan oleh kaum sofis secara sengaja di dalam pidato-pidatonya atau di waktu-waktu mengajarnya. Menurut Ahmad Yulden Erwin dalam artikelnya yang berjudul “Tentang Logika Aristoteles”, mengatakan fallacy biasanya digunakan untuk “mempengaruhi opini publik, memutar balik fakta, pembodohan publik, fitnah, provokasi sektarian, pembunuhan karakter, memecah belah, menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan dengan janji palsu”.
Selain kaum sofis ada juga sekolompok yang menggunakan fallacy, namun mereka lakukan secara tidak sengaja atau ketidaktahuan mereka. Kaum seperti ini disebut dengan paralogisme. Oleh sebab itu, Aristoteles merumuskan kategorisasi kesalahan-kesalahan dalam pikiran.
Indikasi Fallacy di Akademisi
Karakter seperti sofis di dunia modern ini, masih bisa ditemukan dimana-mana, baik di sekolah atau universitas negeri maupun swasta. Apalagi momen pemilihan umum. Banyak kaum seperti itu bergentayangan mempromosikan jagoannya dengan retorika yang fallacy.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya 4 November 2024. Media online lokal Sulawesi Tenggara (Sultra), mempublikasikan hasil menilik seorang pengamat demokrasi, politisi serta akademisi di salah satu Universitas swasta di Kendari terhadap fenomena pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Sulawesi Tenggara.
Pada pernyataan awal, Beliau menjelaskan bahwa isu dua putaran yang ramai dibincangkan di Sultra merupakan permasalahan yang tidak teratasi dengan baik oleh pihak yang terkait.
Pada bagian lain, beliau meneruskan penjelasan yang berbeda mengenai adanya peluang menang yang dimiliki salah satu calon – sebut saja A. Tegasnya lagi, hal ini disebabkan “preferensi psikologi bagi tiga calon itu terbelah”
Penutupnya, beliau menyimpulkan dengan mengatakan bahwa A memiliki peluang kemenangan karena pemilihnya berbasis rasional psikologis.
Urutan argumentasi yang dilontarkan oleh akademisi ini terindikasi terjerat dengan beberapa jenis fallacy yang betujuan mempengaruhi opini publik, dan mungkin masih banyak tujuan lain yang tersembunyi di balik layar.
Jenis Fallacy yang Digunakan
Menurut Dr. Fachrudin Faiz – seorang Dosen Filsafat, menyebutkan ada 32 jenis-jenis fallacy. Tapi yakinlah tidak semua kesalahan berpikir yang terindikasi digunakannya.
Melihat argumentasinya di media online, terdapat kesimpulan yang menyatakan orang-orang yang memilih A berbasis rasional psikologis. Argumentasi ini terindikasi sangat memaksakan karena beliau tidak menunjukkan premis-premis yang kuat serta data induktif yang valid untuk mendukung kesimpulannya. Kemungkinan besar, beliau hanya ketemu beberapa orang berbasis rasional yang kebetulan memilih A, kemudian beliau melakukan generalisasi kepada semua pemilih A. Sehingga dapat dinilai orang-orang yang memilih A adalah berbasis rasional. Inilah disebut dengan fallacy of dramatical instance. Kesalahan berpikir pertama dilakukannya.
Karena tidak memiliki premis-premis yang kuat serta data yang valid. Diawal tulisan, Beliau diperkenalkan sebagai seorang pengamat, politikus serta dosen. Status-status ini bertujuan untuk memberitahu kepada pembaca bahwa Beliau adalah seorang ahli dalam pembicaraan ini. Maka dari itu, orang yang membaca mempercayai dan tidak akan ragu, mengkritik ataupun mempertanyakan argumentasi-argumentasi dari seorang ahli. Kesalahan berpikir ini dikenal dengan Argementum ad verecundiam.
Terakhir adalah Slippery Slope, fallacy seperti ini terjadi karena kesimpulan yang luar biasa ini bisa tercipta dengan ajaib tanpa adanya premis-premis yang benar dan mendukungnya.
Preventif Wabah Fallcy
Fallacy bukanlah penemuan yang baru, namun sudah ada sejak 500 SM. Oleh sebab itu fallacy bisa seperti virus atau bakteri yang bisa menyerang siapapun, bukan hanya seorang akademisi saja, tapi ustad, habib, pemerintah, penjual, ojol, guru atau yang lainnya bisa terjangkit.
Diketahui pula, fallacy belum ditemukan obatnya. Maka dari itu, sikap preventif menjadi solusi terbaik. Sikap seperti ini haruslah disadar oleh semua khalayak ramai, sehingga dari usia dini dan adanya lingkungan yang baik melahirkan manusia-manusia yang terhindar dari kesalahan-kesalahan pikir.
Jika seseorang yang sudah terjangkit fallacy. Potensi sembuh masih sangatlah berpeluang, namun peluang ini tidak bisa ampuh jika tidak ada kesadaran atas kesalahan dan ketidaktahuan, bisa dikiritik dan adanya keinginan belajar dari dalam diri.**)