Menu

Mode Gelap
Tiga Napi Korupsi di Sultra Dapat Asimilasi dari Pihak Ketiga, Salah Satunya Keponakan Gubernur Dari Kebun ke Gerbang Masa Depan: Menghadapi Cemohan dan Mencapai Impian Ridwan Bae: PT SCM dan Perkebunan Sawit Penyebab Banjir di Jalur Trans Sulawesi Korban Tenggelam di Pantai Nambo Ditemukan Meninggal Dunia Pembentukan Kaswara: Langkah Awal Kolaborasi Alumni SMP Waara

Daerah · 5 Des 2025 20:10 WITA ·

Warga Protes Penghargaan “Pin Emas” Kepada Polda Sultra


 Warga Protes Penghargaan “Pin Emas” Kepada Polda Sultra Perbesar

KENDARI — Gelombang kekecewaan dan protes keras muncul dari masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra) setelah pemberian Pin Emas dari Kementerian ATR/BPN kepada Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara atas klaim keberhasilan pemberantasan mafia tanah.

Bagi warga yang selama bertahun-tahun berjuang mempertahankan hak atas tanah, penghargaan itu dinilai sangat melukai perasaan rakyat, bahkan dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap kenyataan pahit di lapangan.

“Mafia tanah yang mana sudah diberantas?” — pertanyaan warga

Ratusan warga pemilik lahan, aktivis agraria, serta tokoh masyarakat mempertanyakan dasar penghargaan tersebut. Mereka menyebut klaim pemberantasan mafia tanah sebagai narasi kosong yang tidak mencerminkan kondisi nyata masyarakat.

Seorang tokoh masyarakat menegaskan: “Mafia tanah yang mana diberantas Polda Sultra? Sejak kapan Polda bergerak memberantas mafia tanah? Kapan, di mana, dan siapa saja oknum yang sudah ditangkap? Kami tidak melihat itu terjadi.”

Warga menilai justru kebalikannya yang terjadi: kasus-kasus sengketa tanah semakin marak, laporan masyarakat tidak mendapat tindak lanjut jelas, dan sebagian oknum aparat malah terkesan berada di pihak para mafia tanah.

Rakyat Sultra: “Kami belum merdeka dalam urusan agraria”

Warga menilai pemberian Pin Emas adalah tindakan yang kontras, berlebihan, dan sekadar formalitas. Mereka menganggap pemerintah pusat, khususnya Kementerian ATR/BPN, tidak memahami betapa kompleks dan sakitnya persoalan agraria di Sultra.

Banyak masyarakat menyatakan mereka “belum merdeka” dalam urusan tanah, karena: proses hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, laporan warga digantung tanpa kepastian, sertifikat tumpang tindih terus bermunculan, dan konflik masyarakat dengan perusahaan dibiarkan berlarut-larut.

Ismunahadi: “Lebih berharga besi berkarat daripada penghargaan ini”
Pengamat dan analis administrasi pertanahan, Ismunahadi, memberikan komentar tajam terkait pemberian penghargaan tersebut.

Menurutnya: “Penghargaan itu tidak ada nilainya. Lebih berharga besi berkarat daripada Pin Emas yang hanya menertawakan penderitaan rakyat.”

Ismunahadi menilai penghargaan ini justru menunjukkan minimnya pemahaman kementerian terhadap realitas konflik agraria di Sultra. Ia menegaskan bahwa kementerian tampak terburu-buru, tidak melakukan pendalaman, dan tidak mendengar jeritan rakyat sebelum mengambil keputusan.

Kekecewaan kepada Menteri ATR/BPN
Warga menilai Menteri ATR/BPN seolah buta terhadap fakta lapangan, sebab banyak kasus tanah hingga kini justru mandek di bawah kewenangan BPN. Mereka melihat tindakan pemberian penghargaan ini sebagai keputusan yang tidak mempertimbangkan: keadaan nyata konflik agraria di Sultra, ratusan korban sertifikat ganda dan tumpang tindih, proses hukum yang berjalan lambat, serta dugaan keterlibatan oknum-oknum yang tidak ditindak tegas.

Seruan kepada Pemerintah Pusat:
“Lihatlah penderitaan kami sebelum memberi penghargaan”. Warga Sultra meminta Presiden dan Menteri ATR/BPN untuk turun melihat langsung situasi lapangan, bukan sekadar menerima laporan internal yang terkesan bersih dan steril.

Masyarakat mendesak agar:
1. Dilakukan audit nasional atas penanganan kasus mafia tanah di Sultra.
2. Dipublikasikan daftar oknum mafia tanah yang benar-benar telah ditindak, apabila memang ada.
3. Pemerintah menghentikan penghargaan formalitas sebelum rakyat merasakan keadilan yang nyata
4. Seluruh konflik agraria diselesaikan secara transparan dan tidak kosmetik.

Penutup
Pemberian Pin Emas yang semestinya menjadi simbol prestasi justru berubah menjadi simbol ketidakadilan, kehilangan kepercayaan, dan kemarahan rakyat Sultra. Warga berharap pemerintah tidak menutup mata dan segera melakukan langkah nyata—bukan sekadar seremoni penghargaan yang dianggap tidak pantas dan menyakitkan.

Artikel ini telah dibaca 71 kali

badge-check

Publisher

Baca Lainnya

PT WIN Turunkan Excavator untuk Percepat Pembangunan Masjid Pondok Tahfiz di Parasi

12 Desember 2025 - 15:23 WITA

Bank Sultra Cabang Muna Apresiasi Pemdes Banggai Jadi Perintis Pembukaan Rekening Perangkat Desa

10 Desember 2025 - 16:20 WITA

Pondok Pesantren Imam Syafi’i Menjerit di Tengah Lubang Tambang PT IPIP

9 Desember 2025 - 20:35 WITA

HMI MPO Demo Soal Pembangunan Rumah Pribadi Gubernur, DPRD Sultra Bungkam

7 Desember 2025 - 18:28 WITA

SBSI Kendari Desak CV Duta Setia Bayar Kompensasi 12 Pekerja

7 Desember 2025 - 18:17 WITA

SIGA Tenggara: Inovasi Layanan Ketenagakerjaan di Sulawesi Tenggara

1 Desember 2025 - 21:31 WITA

Trending di Daerah