PENAFAKTUAL.COM, JAKARTA – Jaringan Pemerhati Investasi Pertambangan (J-PIP) terus menyoroti kasus dugaan penambangan ilegal serta indikasi ketidakpatuhan pembayaran PNBP PPKH PD Aneka Usaha Kolaka.
Dimana, merujuk Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK: 631/MENLHK/SETJEN/GKM.0/6/2023, tentang Pengenaan Sanksi Adminisratif, PD Aneka Usaha Kolaka Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara wajib membayar denda adimistratif sebesar Rp19.665.529.538.
Menyikapi hal itu, Presidium J-PIP, Habrianto mengatakan, setelah melakukan penelusuran pihaknya mendapatkan beberapa bukti baru berupa surat keberatan atas penetapan sanksi denda administratif dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan surat undangan klarifikasi terkait permohonan penyesuaian denda administratif PD Aneka Usaha Kolaka.
PD Aneka Usaha Kolaka mengajukan surat keberatan atas penetapan sanksi Kepada Sekertaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Kepala Biro Hukum pada tanggal 13 Juli 2023 dengan Nomor Surat: 080/PD-AU/VII/2023 yang ditandatangani oleh Direktur Utama PD Aneka Usaha Kolaka, Armansyah.
Tidak hanya itu, pada tanggal 12 Januari 2024 PD Aneka Usaha Kolaka kembali mengajukan surat keberatan atas penetapan sanksi untuk kedua kalinya, kepada Kementerian Lingkungan Hidup da Kehutanan melalui Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, dengan Nomor Surat: 034/PD-AU/I/2024 dan ditandatangani oleh Direktur Utama PD Aneka Usaha Kolaka, Armansyah.
Dalam surat keberatan itu, PD Aneka Usaha Kolaka meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mengevaluasi kembali SK Nomor: 631/MENLHK/SETJEN/GKM.0/6/2023 tentang besaran denda administratif yang diberikan kepada PD Aneka Usaha Kolaka.
Menurut perhitungan internal yang mereka lakukan dengan menggunakan beberapa metode, variabel serta pertimbangan, PD Aneka Usaha Kolaka mengklaim besaran denda administratif mereka berada diangka Rp2.286.603.516.
Menindaklanjuti surat permohonan penyesuaian denda administratif yang diajukan, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Biro Hukum, mengundang lima (5) perusahaan IUP perihal panggilan klarifikasi diantaranya PD Aneka Usaha Kolaka. Berdasarkan Surat Nomor: UN.71/Rokum/APP/KUM.2.2/B/06/2024.
Namun, pasca pemanggilan terhadap Direktur PD Aneka Usaha Kolaka, kasus tersebut sempat tak ada kejelasan dan kesimpulan terkait surat keberatan yang diajukan apakah diterima atau ditolak.
“Tentunya setelah Dirut PD Aneka Usaha Kolaka diundang, pasti ada kesimpulan apakah “diterima atau ditolak”, dan jika diterima berarti SK nomor 631 dicabut serta terbit SK yang baru beserta besaran denda yang telah ditetapkan KLHK. Sementara jika ditolak seharusnya PD Aneka Usaha Kolaka harus segera membayar denda tersebut berdasarkan SK No. 631,” ucap Habri, Jumat, 17 Jumat 2025.
Atas dasar itu, pada tanggal 17 Januari 2025 pihaknya mendatangi Biro Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, guna meminta informasi/keterangan terkait kendala dalam kasus tersebut sehingga sampai saat ini PD Aneka Usaha Kolaka belum melakukan pembayaran denda.
“Tujuan kami mendatangi Biro Hukum KLHK diantaranya untuk mencari tahu terkait kendala mereka sehingga PD Aneka Usaha Kolaka belum menunaikan kewajibannya,” pungkasnya.
Habri menambahkan, bahwa kehadiran mereka juga untuk mencari informasi terkait kesimpulan dari hasil klarifikasi Dirut PD Aneka Usaha Kolaka pada bulan Juni 2024 serta memperjelas terkait mekanisme dalam penerbitan elektronik billing (E-Billing) denda administratif.
“Ironisnya, salah satu pegawai Biro Hukum (Bidang Advokasi) KLHK, Arga yang menerima kami bungkam dan enggan memberikan informasi ihwal perkembangan kasus tersebut,” ungkapnya.
Selain itu, mereka juga mendatangi Ditjen Gakkum KLHK untuk menyampaikan terkait kondisi diwilayah Konsesi IUP PD Aneka Usaha Kolaka yang sampai saat ini masih ada aktivitas produksi hingga penjualan tanpa memperhatikan SK: 631/MENLHK/SETJEN/GKM.0/6/2023.
“Didalam SK Menteri LHK pada amar ketujuh (7) telah dijelaskan bahwa sanksi administratif penghentian sementara kegiatan usaha sampai dengan dilaksanakannya pembayaran denda administratif dan diterbitkan keputusan pencabutan sanksi administrati. Sehingga apa yang dilakukan oleh PD Aneka Usaha Kolaka saat ini adalah perbuatan melawan hukum,” imbuhnya.
Alih-alih membayar dan menghentikan aktivitasnya sementara, justru PD Aneka Usaha Kolaka melakukan permohonan pengajuan RKAB Tahun 2023, sehingga bedasarkan SK Ditjen Minerba ESDM No: T-1993/MB.04/DJB.M/2023, tertanggal 3 November 2023 terbit RKAB PD Aneka Usaha Kolaka dengan jumlah kuota 350.000 MT.
Sehingga, perusahaan yang dinakhodai oleh Armansyah itu harus menghabiskan kuota RKAB miliknya selama 48 hari karena terbit diakhir tahun, dan berdasarkan informasi dari berbagai sumber, PD Aneka Usaha Kolaka juga diduga kuat melakukan jual beli dokumen (dokter) dengan PT SLG pada tahun 2023, pasalnya saat itu perusahaan tersebut belum memiliki dokumen untuk melakukan penjualan.
“Iya betul, berdasarkan informasi serta dokumen penjualan mereka yang kami kantongi, kami melihat kedua perusahaan itu saling membutuhkan, PD Aneka Usaha Kolaka saat itu mengejar agar kuota 350.000 MT segera terpenuhi sedangkan PT SLG belum ada RKAB saat itu,” tukasnya.
PD Aneka Usaha Kolaka juga kembali melakukan permohonan pengajuan RKAB tahun 2024 sampai dengan tahun 2026, sehingga tertanggal 29 Januari 2024 terbit persetujuan RAKB mereka berdasarkan SK Ditjen Minerba ESDM No: T-182/MB.04/DJB.M/2024.
Adapun jumlah kuota RKAB PD Aneka Usaha Kolaka yaitu tahun 2024 maksimal 1.040.000 MT, tahun 2024 maksimal Sebesar 1.1800.000 MT dan tahun 2024 maksimal sebesar 1.130.000 MT.
Sementara itu, KTT PD Aneka Usaha Kolaka, Ishak Nurdin, saat dikonfirmasi beberapa waktu yang lalu membenarkan bahwa sampai saat ini PD Aneka Usaha Kolaka belum melakukan pembayaran denda admistratif PNBP PPKH karena kode Elektronik Billing dari KLHK belum diterbitkan.
“Betul, bahwa Perusda belum bayar karena e-billing belum diterbitkan oleh KLHK,” jelas Ishak Nurdin
Atas dasar itu, secara kelembagaan pihaknya menegaskan bahwa mereka akan membawa atau melaporkan kasus tersebut ke Ombudsman Republik Indonesia agar segera diatensi.
“Kasus ini telah bergulir lama dan telah merugikan negara hingga ratusan miliar, jadi seyogyanya Ombudsman RI harus segera mengambil alih kasus tersebut, agar terkuak siapa aktor dibalik kasus ini,” tegas Ketua Bidang Humas Rampas 08 Sultra.(hsn)