Oleh: Zulfikar Putra
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 di Indonesia merupakan Pilkada yang diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat wilayah (Pemilihan Gubernur), pemilihan tingkat Kabupaten (Pemilihan Bupati), dan pemilihan tingkat Kota (Pemilihan Walikota) yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu tanggal 27 November 2024.
Tahapan persiapan sudah dimulai sejak awal tahun 2024 termasuk perencanaan program dan anggaran serta pembentukan panitia pemilihan. Pelaksanaan kampanye akan berlangsung dari tanggal 25 September hingga 23 November 2024.
Pada setiap proses penyelenggaraan Pilkada, sudah menjadi pemandangan umum terjadi bahwa bagaimana cara dan strategi yang mesti dilakukan agar mendapat simpatik atau dukungan menjadi cakada yang akan dipilih pada hari H-nya nanti. Upaya yang dilakukan dengan berbagai strategi baik itu dengan kampanye langsung dengan door to door atau dari rumah ke rumah hingga mengadakan pertemuan-pertemuan dengan mengumpulkan tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan orang-orang yang berpengaruh untuk menyampaikan program-program populis agar dapat meraih dukungan dari masyarakat. Mulai dari menebar janji dengan menawarkan berbagai program-program kesejahteraan hingga pada praktik transaksi jual beli suara yang acapkali dipertontonkan di setiap perhelatan pilkada digelar.
Hal tersebut dilakukan oleh para calon kepala daerah (Cakada) dengan tujuan agar dapat melenggang ke kursi kekuasaan sebagai Gubernur, Bupati maupun Walikota. Dalam dinamika berdemokrasi, upaya-upaya yang dilakukan oleh setiap cakada dalam menarik simpatik calon pemilih merupakan suatu hal yang wajar dilakukan. Hanya yang perlu menjadi perhatian bahwa upaya-upaya yang dilakukan tersebut tidak berbenturan dengan kaidah yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika membahas tentang pilkada, maka kurang lengkap jika tidak membahas mengenai calon yang berkompetisi dalam pilkada. Ibarat sebuah brand (produk) yang akan ditawarkan kepada calon konsumen, maka seperti itu pula tim sukses dari setiap pasang cakada membranding jagoannya agar pilihan nantinya dijatuhkan kepada cakada yang diusungnya. Tentunya dalam menawarkan pasangan cakada yang dijagokannya, segala hal yang menyangkut keunggulan atau kebaikan dari pasangan cakada tersebut yang tidak dimiliki oleh pasangan cakada lainnya semisal kemampuan leadership, kesederhanaannya, kecerdasan intelektualnya, kepekaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang ada di masyarakat dan lain sebagainya.
Semua hal tersebut diatas menjadi modal bagi tim sukses pasangan cakada untuk mempromosikan atau mensosialisasikan pasanagan cakad yang dijagokannya. Sebagai bagian dari masyarakat yang nantinya akan menyalurkan hak politik (menyalurkan suara) dalam perhelatan pilkada, menjadi hal yang penting untuk mengetahui dan memahami dengan baik track record (rekam jejak) setiap cakada yang akan maju dalam kontestasi pilkada serentak tahun 2024.
Namun dari fenomena yang terjadi beberapa pelaksanaan pemilu baik pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) pengaruh money politic (politik uang) begitu dominan dalam mempengaruhi tingkat keterpilihan individu maupun pasangan calon yang berkontestasi dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Tidak dapat dinafikan bahwa keinginan sebagian masyarakat kita adalah menginginkan figur pasangan cakada yang memiliki kemampuan finansial yang baik. Adapun yang berkaitan dengan kemampuan yang mestinya dimiliki oleh seorang cakada bukan lagi menjadi suatu hal yang diprioritaskan.
Olehnya melalui tulisan ini, saya merasa berkewajiban untuk mengutarakan kegelisahan saya terkait fenomena money politic ini yang oleh sebagian masyarakat merupakan hal yang lumrah pada setiap pemilihan umum, bahkan naudzu billah min zhalik bahkan sudah menjadi budaya. Sebagai seorang akademisi, maka sudah menjadi keharusan untuk memberikan edukasi akan dampak negatif dari bahaya money politic, karena hal tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab moril dalam memberikan pendidikan politik yang baik. Dengan tujuan agar praktek-praktek yang tidak etis dan mencemari proses demokrasi yang selama ini diperjuangkan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
Adapun kriteria yang setidaknya dapat dilihat untuk mengukur dan menilai kapasitas seorang calon kepala daerah maka setidaknya tidak hanya dilihat dari popularitas (keterkenalan), elektabilitas (keterpilihan) namun yang penting akseptabilitas (penerimaan). Adapun mengenai faktor akseptabilitas setidaknya ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu pertama yang harus dimiliki adalah etikabilitas, kemudian yang berikutnya intelektualitas. Sudah menjadi sesuatu yang telah diketahui oleh sebagian masyarakat bahwa seorang cakada dalam mengikuti bursa pencalonan baik itu kepala daerah dari tingkat daerah, wilayah maupun nasional, maka modal awal yang harus dimiliki adalah diantaranya:
Popularitas (keterkenalan): seorang akan dipilih, jika pemilih mengenal calon yang bersangkutan. Hal tersebut menjadi suatu hal yang wajar jika pemilih menjatuhkan pilihannya pada orang yang ia kenal. Karena alasan yang paling mendasar adalah bagi seseorang untuk memilih karena atas dasar kenal;
Elektabilitas (keterpilihan): tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan. Elektabilitas bisa diterapkan kepada barang, jasa, orang maupun badan atau partai. Untuk meningkatkan elektabilitas sebuah objek seperti barang, jasa, orang atau lembaga maka objek tersebut harus populer dan memenuhi kriteria keterpilihan diantaranya dikenal baik oleh masyarakat luas, terbukti memiliki kinerja yang baik, memiliki prestasi di bidang tertentu dan memiliki track record yang positif;
Akseptabilitas (penerimaan): dalam hal ini seseorang yang mendapat penerimaan yang baik dari masyarakat. Penerimaan yang dimaksud ini dapat dikarenakan yang bersangkutan punya pembawaan yang baik (tutur kata, sikap dan tingkah laku) yang merupakan faktor internal dan dapat juga disebabkan karena faktor ekternal, diantaranya keturunan atau reputasi baik yang selama ini diketahui dari orang tua yang bersangkutan juga menjadi faktor pendukung seseorang dapat diterima di masyarakat. Mengenai faktor akseptabilitas (penerimaan) ini terdiri dari unsur yang memenuhinya yaitu etikabilitas dan intelektualitas.
Dari tiga faktor dasar diatas, yang memiliki pengaruh yang sangat kuat adalah pada faktor yang ketiga yaitu akseptabilitas dibanding popularitas dan elektabilitas. Hal tersebut karena ketiadaan atau ketidakterpenuhan faktor akseptabilitas calon atau kandidat menjadi faktor penentu dipilih atau tidak dipilih. Keterpenuhan faktor popularitas (keterkenalan) dan elektabilitas (keterpilihan) tidak memiliki pengaruh yang besar jika dibanding dengan akseptabilitas (penerimaan). Seorang yang dikenal tidak lantas ia otomatis akan dipilih, penyebabnya bisa beragam diantaranya karena performance (penampilan), atitude (sikap), interaksi dengan masyarakat dan lain sebagainya. Begitupula elektabilitas yang merujuk pada daya tarik seorang calon di mata masyarakat yang kemudian tercermin dalam jumlah suara yang mereka peroleh.
Namun popularitas sering kali didorong oleh hal-hal superfisial, dalam hal ini elektabilitas yang tinggi tidak selalu berarti calon tersebut layak memimpin karena bisa jadi karena keterpilihannya disebabkan kemampuan melakukan pecitraan yang baik meski mungkin tidak memiliki kompetensi atau integritas yang memadai. Adapun faktor akseptabilitas (penerimaan) bagi seorang kadidat dapat dipengaruhi oleh dua hal yaitu etikabilitas yang merupakan fondasi moral sedangkan intelektualitas yang memberikan arah visi. Karena menurut pemikiran penulis bahwa keterpenuhan unsur etikabilitas dan intelektualitas pada faktor akseptabilitas, setidaknya memiliki pengaruh yang besar terhadap faktor popularitas dan elektabilitas.
Sebagaimana halnya yang diungkapkan oleh Rocky Gerung, bahwa penting bagi kita untuk mengedukasi masyarakat bahwa memilih pemimpin tidak boleh hanya sekedar berdasarkan elektabilitas. Pemimpin yang terpilih harus lolos dari tiga poin penting, yaitu etikabilitas, intelektualitas dan elektabilitas. dimana ketiganya saling terkait satu sama lain. Namun yang menjadi tantangannya adalah bagaimana masyarakat memilih dengan kesadaran? Maka menurut Rocky Gerung setidaknya ada dua hal, yaitu:
Pertama, kita harus meningkatkan literasi politik. Masyarakat perlu diajak untuk lebih kritis dalam memahami latar belakang calon pemimpin, bukan hanya dari sisi popularitas tetapi juga dari sisi moral dan itelektual mereka. Debat kadidat harus lebih diarahkan pada gagasan substantif dan bukan sekedar ajang menunjukkan siapa yang paling pandai berbicara;
Kedua, pendidikan politik yang merata juga menjadi hal yang penting. Jika sebagaian besar masyarakat masih terpaku pada politik uang atau janji-janji palsu, kita tidak akan pernah bisa memilih pemimpin yang berkualitas.disinilah peran lembaga pendidikan, media dan komunitas masyarakat sipil memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran politik yang lebih baik.
Namun pada akhirnya, pilihannya ada pada masing-masing individu (masyarakat). Jika hanya memilih pemimpin hanya dari segi elektabilitasnya saja, maka berisiko memilih mereka yang hanya pandai berbicara tapi minim karya/prestasi. Akan tetapi, jika kita memperhatikan juga etikabilitas dan intelektualitas, maka kita akan lebih mungkin menemukan pemimpin yang benar-benar layak memimpin sebagaimana yang dikehendaki masyarakat. Semoga dengan pilkada serentak tahun ini, masyarakat kita lebih cerdas dalam menentukan pilihannya sesuai hati nurani, tanpa adanya pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai demokratis,
Wallahu ‘alam bi shawab
Penulis: Zulfikar Putra, S.H., M.Pd (Dosen PPKn USN Kolaka)