Oleh:
Ummu Abiyyu (Pemerhati Masalah Sosial)
Jakarta, CNBC Indonesia – Penerimaan pajak anjlok pada Maret 2024. Sejumlah setoran pajak beberapa sektor industri turun drastis seperti industri manufaktur hingga industri pertambangan.Total penerimaan pajak hingga Maret 2024 atau selama kuartal I-2024 hanya sebesar Rp 393,9 triliun. Realisasi ini turun 8,8% dari penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 431,9 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, turunnya setoran pajak beberapa industri ini menggambarkan kondisi perekonomian domestik yang terdampak tekanan ekonomi global. Setoran industri pengolahan turun sebesar 13,6% pada kuartal I-2024, padahal pada kuartal I-2023 masih tumbuh 32,9%.
Penyebabnya kata Sri Mulyani ialah penurunan harga komoditas dan peningkatan restitusi pajak terutama di subsektor industri sawit dan logam dasar.Industri sektor perdagangan juga mengalami penurunan setoran pajak sebesar 1,6% pada kuartal I-2024, padahal pada kuartal I-2023 tumbuhnya hingga 19,9%. Penyebabnya kata Sri Mulyani ialah peningkatan permintaan restitusi pajak untuk sektor ini.
“Ini gambaran yang cukup mix, ada yang cukup berkembang dan ada yang terdampak oleh global yang harga komoditas itu dan lain-lain,” ucap Sri Mulyani.
Inilah gambaran betapa negara ini bertumpu pada pajak sebagai sumber pendapatan negara sehingga Ketika keuangan Negara dalam keadaan tidak stabil maka di buatlah aturan untuk menarik berbagai macam pajak yang bersumber dari masyarakat, tidak sampai di sini, negara juga membebani rakyatnya dengan menaikkan tarif pajak yang mana berdampak pada kenaikan harga atau komoditi yang ada di Negara ini sebagai contoh adanya kenaikan tarif PPN yang tadinya 10% menjadi 11% yang berlaku mulai tanggal 1 April 2022 dan nantinya akan dinaikkan lagi pertanggal 1 januari 2025 sebesar 12% ini semakin menyengsarakan rakyat belum lagi iuaran BPJS, pajak bumi dan bangunan dan berbagai macam pajak lainnya yang di bebankan kepada rakyat.
Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menyebut bahwa wacana perubahan ketentuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 kontraproduktif dengan kondisi daya beli masyarakat saat ini. Hal ini disampaikannya dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (14/3/2024). Dengan tarif PPN yang belum lama dinaikkan jadi 11 persen saja, daya beli masyarakat langsung anjlok, bagaimana jadinya jika tarif PPN dinaikkan kembali? Otomatis masyarakat akan menjadi korban,” ungkap Politisi Fraksi PKS itu.
Selanjutnya, Ecky menilai penyesuaian tarif PPN berpotensi mendorong inflasi tinggi yang mengindikasikan harga-harga barang/jasa semakin mahal. Pada kelanjutannya akan membuat daya beli masyarakat makin terpuruk.
“Para pelaku industri dari golongan ekonomi atas akan dengan mudah menaikan harga barangnya ketika tarif PPN bahan baku industrinya meningkat, pada akhirnya masyarakat ekonomi menengah ke bawah sebagai konsumen yang akan menanggung secara langsung kenaikan tarif PPN,” kata Ecky menutup pernyataan resminya. Lalu
Bagaimana dengan Islam
Menurut Islam, harta adalah hal yang sangat dilindungi, dan tidak boleh diambil siapapun tanpa hak. Meskipun tujuan pajak itu baik, tapi pemerintah tetap tidak boleh mengambil pajak dari rakyat, kecuali jika rakyat membayar secara ikhlas dan sukarela. Jika rakyat tidak ikhlas, maka status pemungut pajak adalah perampok/perampas harta.
Perbuatan ini sama halnya dengan muk s di era Nabi, yaitu pemungut cukai atau pajak jalanan. Negara hanya boleh mengambil harta rakyat secara paksa dalam hal zakat, jizyah, kharaj, dan beberapa hal lain yang diatur oleh syariat Islam
Meskipun pajak diperbolehkan oleh ulama, pelaksanaannya harus sesuai dengan rambu-rambu syariaah. Jika tidak, pajak (dzarabah) akan keluar dari jalurnya sebagai alat pemenuhan kebutuhan negara dan masyarakat menjadi alat penindasan dari penguasa kepada rakyat.
Dengan diterapkannya pajak yang sesuai syariaah, diharapkan kaum Muslim akan berlomba-lomba membayar pajak sebagai salah satu bentuk jihad mereka dalam mengatasi beban bersama.
Walaupun pada dasarnya, pajak sebagai sumber pendapatan negara dalam al-Quraan dan al-Sunnah tidak dibenarkan Namun bisa saja terjadi kondisi dimana zakat tidak lagi mencukupi pembiayaan negara, maka pada saat itu diperbolehkan memungut pajak dengan ketentuan-ketentuan yang sangat tegas dan diputuskan oleh ulamaa(An-Nabhani: 2000; 262).
Dengan demikian syariah membolehkan penguasa (Khalifah) memungut pajak. Jika Allah SWT memerintahkan, dengan syarat penarikannya berdasarkan perintah dari Khalifah yang beriringan dengan perintah-Nya kepada kaum Muslim untuk menyerahkan harta tersebut, bukan karena perintah Khalifah.
Semua hal yang diwajibkan syariah atas Baitul Mal dan atas kaum Muslim untuk dibiayai dari harta yang ada di Baitul Mal, jika di Baitul Mal tidak ada harta atau tidak mencukupi, maka Khalifah boleh memungut pajak dari kaum Muslim sesuai dengan ketentuan syariah, untuk membiayai hal-hal .
Pertama: Para fakir, miskin, ibnu sabil dan pelaksanaan kewajiban jihad. Kedua: Pengganti jasa dan pelayanan kepada negara, seperti gaji para pegawai, gaji tentara dan santunan para penguasa. Ketiga: Biaya-biaya yang menjadi kewajiban Baitul Mal demi mewujudkan kemaslahatan dan pembangunan tanpa biaya pengganti, seperti pembangunan jalan raya, pengadaan air minum, pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit.
Keempat: Keadaan darurat/bencana mendadak yang menimpa rakyat seperti bencana kelaparan, angin topan, atau gempa bumi: Inilah alokasi penggunaan pajak yang telah dijelaskan oleh syariah Islam. Selain karena keadaan-keadaan ini, Khalifah tidak boleh memungut pajak dari rakyat. Sebab, hukum asal menarik pajak adalah haram.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb.