Menu

Mode Gelap
Tiga Napi Korupsi di Sultra Dapat Asimilasi dari Pihak Ketiga, Salah Satunya Keponakan Gubernur Dari Kebun ke Gerbang Masa Depan: Menghadapi Cemohan dan Mencapai Impian Ridwan Bae: PT SCM dan Perkebunan Sawit Penyebab Banjir di Jalur Trans Sulawesi Korban Tenggelam di Pantai Nambo Ditemukan Meninggal Dunia Pembentukan Kaswara: Langkah Awal Kolaborasi Alumni SMP Waara

Opini · 18 Jan 2024 00:40 WITA ·

IPG Meningkat, Perempuan Berdaya atau Terpedaya?


 Ilustrasi. Sumber: malukupost.com Perbesar

Ilustrasi. Sumber: malukupost.com

Oleh: Suaibah S.Pd.I.
(Pemerhati Masalah Perempuan)

Isu kesetaraan gender terus digaungkan agar perempuan ramai terjun ke ranah publik sebagaimana laki-laki. Dengan begitu mereka akan berpredikat sebagai perempuan berdaya, berhasil, dan sukses.

Sebagaimana yang terjadi saat ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengatakan selama tahun 2023 perempuan semakin berdaya karena meningkatnya indeks pembangunan gender (IPG).

Mereka berkarir di ranah publik baik untuk bekerja, memiliki jabatan yang strategis di tempat kerja, maupun terlibat dalam politik pembangunan yakni menjadi bagian dari lembaga legislatif, yudikatif, bahkan eksekutif. Di tahun 2024, pemerintah pun akan fokus untuk meningkatkan lagi pemberdayaan perempuan (Antaranews.com, 6/1/2024)

Jika begini keadaannya, benarkah perempuan ini berdaya atau justru terpedaya?

Dalam pandangan kapitalisme , perempuan dinobatkan berdaya ketika mampu sejajar dengan laki-laki, mandiri, dan mampu memanifestasikan materi sehingga tidak mudah dilecehkan harga dirinya.

Padahal ketika perempuan membebek dengan standar yang telah digariskan kapitalisme ini maka sesungguhnya bukan perempuan berdaya melainkan teperdaya, yakni tertipu dengan pemikiran feminisme yang selalu mengajak kaum perempuan agar setara dengan laki-laki dalam segala bidang.

Mereka pun seolah nampak bahagia padahal batin menderita. Betapa tidak, akibat perempuan ingin disejajarkan dengan laki-laki, kemudian dipaksa untuk aktif dalam ranah publik, akhirnya tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan kasus pelecehan seksual di tempat kerja.

Banyak juga yang akhirnya meminta berpisah dengan pasangannya. Berdasarkan BPS, selama tahun 2022 telah terjadi sebanyak 516 ribu pasangan yang bercerai. Dari 93% perempuan yang mengajukan gugat cerai, 73% adalah perempuan yang mapan secara ekonomi (databoks.katadata.co.id, 2/11/2023)

Jika sudah bercerai, maka menjadikan perempuan (ibu) sebagai single parent dalam pengasuhan anak. Tak jarang karena ibu teralihkan menjadi tulang punggung keluarga, mencari biaya untuk pendidikan maka akhirnya anak terabaikan, dibiarkan diasuh oleh tontonan yang minim edukasi atau justru dititipkan kepada pihak yang tidak mumpuni dalam ilmu mengasuh. Alhasil anak tersandung kasus kenakalan remaja, pergaulan bebas, dan lainnya.

Bahkan sangat rentan sang ibu terdampak stres karena melakukan berbagai peran tersebut. Tidak sedikit ditemui kasus di lapangan, ibu yang depresi hingga bunuh diri. Jika demikian, maka kesejahteraan dan kesuksesan perempuan yang menjadi goals dari program perempuan berdaya hanyalah ilusi . Lantas seperti apa perempuan berdaya dalam kacamata islam?

Esensi pemberdayaan perempuan yang mampu memberikan keberkahan dan kebaikan bagi perempuan, keluarga, masyarakat, bahkan negara harus mengikuti konsep yang benar, yakni konsep yang berasal dari Allah Swt. Dia telah menciptakan perempuan dan laki-laki dengan memiliki kelebihan dan peran sesuai porsinya yang tidak bisa disamakan atau bukan  untuk dibanding-bandingkan.

Ketika laki-laki lebih banyak berkiprah di luar rumah untuk bekerja bukan berarti lebih hebat dari perempuan melainkan peran tersebut merupakan kewajiban bagi laki-laki untuk mencari nafkah keluarga.

Pun ketika perempuan ini memilih untuk menjadi ummu warobatul bait dan madrasatul ula bagi anak-anaknya, bukan berarti ia tidak berdaya dan tidak memiliki value melainkan ini merupakan tugas mulia yang Allah berikan kepada kaum perempuan.

Teringat akan kisah Asma’ binti Yazid yang protes kepada Rasulullah saw terkait ruang gerak perempuan yang lebih terbatas dibandingkan laki-laki. Rasulullah pun bersabda, “Kembalilah, wahai Asma’, dan sampaikan pada para perempuan yang ada di belakangmu, bahwasanya perilaku baik salah seorang di antara mereka terhadap suami mereka, usahanya untuk mendapatkan rida suaminya, dan ketundukan mereka untuk selalu taat pada suami mereka, maka itu semua akan mengimbangi pahala dari amalan yang telah kamu sebutkan.”

Dari hadits di atas telah jelas bahwa peran utama perempuan adalah sebagai manajer rumah tangga dan pendidik anak-anaknya. Selain itu juga menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun science dan melakukan amar makruf nahi mungkar.

Islam membolehkan perempuan berkecimpung di ranah publik untuk kemajuan bangsa seperti menjadi pengajar, peneliti, entrepreneur, lembaga pemerintahan, dan lainnya. Akan tetapi harus terikat dengan hukum Syara’ yakni tidak melalaikan tugas utamanya yaitu sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga.

Dari penjelasan ini terbukti bahwa Islam tidak mengkriminalisasi perempuan. Begitu pun tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Semuanya memiliki porsi tugas sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Tentu semua ini akan mampu dijalankan ketika Islam diterapkan dalam semua lini kehidupan secara sempurna oleh sebuah negara.

Wallahua’lam bisshawab.

Artikel ini telah dibaca 121 kali

badge-check

Publisher

Baca Lainnya

Rakyat Menjerit, Elit Berkuasa: Sebuah Refleksi Tragis di Usia Ke-80 Kemerdekaan Indonesia

29 Agustus 2025 - 11:15 WITA

Tiga Pilar Keadilan: Pajak, Zakat, dan Wakaf dalam Perspektif Kapitalisme dan Islam

26 Agustus 2025 - 11:10 WITA

Gaza Dilaparkan

17 Agustus 2025 - 19:20 WITA

Gaza Masih Terpenjara: Saatnya Merdeka

13 Agustus 2025 - 14:20 WITA

Mengulik Pencoptan Konstantinus Bukide Sebagai Sekretaris Daerah Buteng

12 Agustus 2025 - 11:52 WITA

Transformasi Digital: Upaya Mengoptimalkan Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak

28 Juli 2025 - 11:18 WITA

Trending di Opini