Oleh: Medinnatu Zahra
(Pemerhati Sosial)
Pada tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari ibu Nasional. Peringatan ini sudah ada sejak 1928 sampai hari ini dengan mengusung tema yang berbeda-beda. (CCN Indonesia)
Salah satu temanya yaitu “Superwomen di Hidupku”, memunculkan pertanyaan seputar kehidupan perempuan dalam sistem kapitalisme. Apakah melalui pekerjaan, seorang perempuan atau ibu dapat dianggap sebagai Superwoman? Ataukah menjadi pekerja adalah naluri seorang perempuan?
Saat ini, satu dari banyak masalah yang dihadapi oleh penduduk dunia adalah kemiskinan, yang merupakan dampak dari sistem kapitalisme. Korban paling banyak adalah perempuan atau ibu. Karena kemiskinan ini juga, seorang ibu/perempuan rela meninggalkan anak dan suami untuk menjadi tulang punggung keluarga. Kemiskinan perempuan menjadi salah satu isu yang terus digaungkan oleh para aktivis perempuan.
Lembaga internasional melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan hingga akses keuangan (muslimah media center).
Oleh karena itu, aktivis perempuan hari ini, mengganggap kesetaraan gender adalah solusi dari kemiskinan yang dirasakan oleh perempuan. Perempuan diberikan hak yang sama dengan laki-laki disektor publik, karenanya banyak perempuan yang terjun dalam pemberdayaan ekonomi perempuan.
Kondisi ini membuat perempuan bekerja membantu ekonomi keluarga, namum alih-alih bisa membantu ekonomi dan keluarga, yang terjadi adalah eksploitasi perempuan. Disisi lain, ketika perempuan bekerja masif di luar rumah, beban ganda menjadi dilema yang tak bisa dielakkan. Stress yang bisa datang sewaktu-waktu dan seringkali menyebabkan konflik yang terjadi dalam keluarga.
Fakta yang terjadi adalah munculnya kemandirian ekonomi perempuan membuat perempuan mudah untuk menuntut perceraian. Dampak dari perceraian yang diperparah oleh kemandirian ekonomi perempuan menciptakan lingkungan dimana ketahanan keluarga rapuh dan terancam. Akibat dari perceraian ini terjadi kenakalan remaja seperti penggunaan narkoba, konsumsi miras, pergaulan bebas, dan tawuran yang pada akhirnya menggoyahkan fondasi keluarga.
Kondisi ini diperparah dengan hilangnya fungsi ibu sebagai pendidik generasi. Karena perempuan lebih disibuk diluar rumah, maka anak-anak mereka dititipkan pada tempat penitipan anak atau tak jarang dibiarkan di rumah bersama dengan saudaranya tanpa pengawasan langsung dari seorang ibu. Maka peran ibu sebagai pendidik tidak dijalankan dengan baik karena kesibukkannya sebagai pekerja sehingga menafikkan fitrahnya sebagai manajer dalam rumah tangga.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme belum sepenuhnya berhasil mensejahterakan perempuan khususnya seorang ibu dalam mempertahankan keutuhan keluarga. Berbeda dengan Islam, fungsi perempuan dalam islam adalah sebagai ummu warobatul bait, sebagai ibu pengatur rumah tangga, oleh karena fungsimya ini seorang ibu tidak terbebani sebagai tulang punggung ekonomi kelaurga atau sebagai pencari nafkah, karena tanggungjawab menafkahi keluarga adalah tugas seorang suami, ayah atau saudara laki-lakinya.
Jika seorang perempuan tak memiliki wali maka ia akan menjadi tanggung jawab negara sehingga ia tak perlu lagi keluar rumah banting tulang untuk mencari nafkah. Islam sehingga dengan ini seorang ibu dapat menjadi pengatur dalam rumah tangga dan mendidik anaknya sesuai dengan fitrahnya semaksimal mungkin dan melahirkan generasi emas yang berkemajuan.
Namun islam tidak menutup kemungkinan untuk memberikan kesempatan bagi ibu/perempuan untuk berperan dimasyarakat selama masih dalam koridor syariat. Begitulah islam menjaga dan menghormati perempuan. Hanya syariat islamlah yang mampu mengembalikan martabat dan kemuliaan seorang perempuan. Wallahu’alam.