Oleh: Zainal Abidin Sangia Oe Mamba
Siapa yang tidak kenal Yusril Ihza Mahendra. Pakar hukum dan ilmu ketatanegaraan yang namanya sangat sedemikian mentereng. Seorang profesor hukum tatanegara ‘par excellence’ yang wajahnya sudah sangat sering menghiasi layar televisi dan pendapatnya ditunggu dan dirujuk banyak orang.
Gaya bicara dan penyampaiannya tampak kalem memancarkan otoritas keilmuan yang kuat. Setiap kata dan kalimat yang meluncur dari lisannya disimak dengan penuh antusias dan kalimat demi kalimat yang diucapkannya bernas, mendalam, dan merefleksikan penguasaan ilmu yang paripurna.
Sebagai praktisi, kemampuannya benar-benar mengafirmasi kecemerlangannya ketika ia tampil berbicara mengupas teori-teori hukum yang sangat akademis dalam forum-forum publik. Dalam kapasitasnya sebagai advokat, entah sudah berapa banyak klien yang dimenangkannya saat berperkara hukum di pengadilan. Kemampuannya yang mungkin paling membuat publik berdecak kagum adalah ketika ia beberapa kali memenangkan gugatan ‘melawan’ pemerintah di pengadilan.
Itulah Yusril Ihza Mahendra. Sosok yang sangat brilian dan disegani dalam ilmu hukum dan tata negara. Seorang yang pendapat dan opininya menjadi rujukan bukan hanya di kalangan pakar dan praktisi hukum, tetapi juga di kalangan awam yang sering berdebat di warung-warung kopi.
Namun, belakangan ini kita melihat seorang Yusril sangat berbeda dan tampak tidak begitu ‘meyakinkan’. Dalam sebuah debat/diskusi yang disiarkan oleh salah satu televisi nasional baru-baru ini, Yusril tampak tidak bisa berbuat banyak untuk memberikan pembenaran dan pembelaan dari serangan yang ditembakkan oleh para pembicara lain yang menyoal kredibilitas hasil dan proses penyelenggaraan pilpres dan pileg 2024.
Ketika kubu politik yang diwakilinya tersudut, Yusril tampak terbungkam dan hanya mengucapkan beberapa kata singkat. Kemampuan teoretis dan retorisnya yang biasanya memukau ketika berdebat seakan menguap tanpa bekas. Ada apa dengan Yusril?
Di Persimpangan Jalan
Kalau berbicara sekedar mencari pembenaran atau berdebat menang kalah, tentu bukanlah perkara sulit bagi seorang Yusril yang ketokohan dan kepakarannya sudah tidak diragukan. Bisa saja Yusril menggunakan argumentasi melingkar-lingkar agar bisa berkelit atau mengesankan diri supaya tampak tidak dikalahkan oleh lawan debatnya. Yusril sama sekali tidak mengambil jalan itu.
Mungkin Yusril tahu benar argumentasi apologetik atau jurus ‘silat lidah’ hanya akan membawa pembicaraan kepada debat kusir yang tak tentu ujung pangkalnya.
Debat kusir lazim terjadi di warung-warung kopi, emperan pasar, atau di media sosial. Pihak-pihak yang terlibat kebanyakan kaum awam. Tak kalah sengit adalah debat antara pendukung capres di grup-grup WA atau media sosial lainnya. Pihak-pihak yang berdebat mati-matian mempertahankan pijakan berpikirnya dimana semangat menjatuhkan lawan menjadi nuansa yang dominan.
Di tengah preferensi capres yang lebih mengedepankan emosi, perasaan, dan pertimbangan subyektif, sulit berharap terjadinya debat yang santun, rasional, dan berbasis data. Tak jarang perdebatan diselingi serapah yang berujung saling maki.
Yusril tampaknya sadar akan kapasitas dan nama besarnya. Ia tidak mau terjebak dalam atmosfer debat kusir yang hanya akan menjatuhkan reputasinya. Integritas keilmuannya membuat ia harus mengakui kebenaran perkataan lawan bicaranya dan ‘memilih’ bungkam dan tidak banyak mengetengahkan dalih atau pembenaran-pembenaran yang sifatnya apologetik.
Yusril benar-benar berada di persimpangan jalan. Keilmuan dan integritasnya sebagai pakar membuatnya harus mengakui kebenaran yang disampaikan oleh lawan bicaranya yang mewakili kubu pasangan capres cawapres 01 dan 03.
Yusril tentu menyadari ia sedang berada di barisan pasangan capres dan cawapres yang sangat bermasalah dari sisi etika, moral, dan konstitusi. Yusril tahu benar ia sedang mencoba membela kubu yang ‘diuntungkan’ oleh proses penyelenggaraan pemilu yang sangat diragukan kebersihan dan kredibilitasnya dan sementara ini menjadi sorotan beberapa pihak.
Dilema Antara Integritas dan Kepentingan
Posisi Yusril yang tetap sejalan dengan kepentingan pasangan capres cawapres Prabowo Gibran menarik untuk ditelaah. Yusril adalah orang yang sejak awal mengkritik perubahan batas usia minimum capres cawapres oleh MK yang kemudian memuluskan jalan bagi Gibran untuk maju sebagai cawapres tak lama setelah MK mengetok palu keputusannya.
Yusril dan Partai Bulan Bintang besutannya yang sebelumnya telah secara terbuka menyatakan dukungan kepada Prabowo tetap bergeming meski keputusan MK tersebut dalam pandangan keilmuannya bermasalah dari sisi etika dan konstitusional.
Kepentingan jangka pendek tampaknya menjadi pilihan yang membuat seorang Yusril harus menepikan integritas dan sudut pandang kepakarannya. Tentu saja ada kesepakatan-kesepakatan tertentu yang menarik Yusril dan partainya untuk tetap bersama koalisi Prabowo terlepas pro-kontra yang membayangi pasangan capres 02 ini.
Jika berbicara kepentingan pribadi seorang Yusril, publik pasti sudah memiliki penilaian sendiri-sendiri. Kapasitas dan pengalaman Yusril yang pernah memimpin salah satu kementerian di era pemerintahan Presiden SBY menjadikannya sebagai sosok yang memang sangat layak untuk dipertimbangkan dalam kabinet yang akan dibentuk oleh Prabowo nanti.
Sebagai sosok dan pakar dengan kemampuan artikulasi jempolan, keberadaan Yusril akan memberikan keuntungan tersendiri bagi Prabowo.
Dari sisi partai, ikut pasangan kandidat capres dan cawapres yang menang tentu sebuah pilihan yang rasional. Manakala berbicara akses sumber daya, partai yang berada dalam pemerintahan memiliki keuntungan lebih dibanding dengan partai yang memilih berada di luar kekuasaan. Ikut pemerintah berarti ikut mendapatkan pembagian kue kekuasaan yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk membesarkan partai.
Pada akhirnya muara dari aktivitas politik adalah akses dan penguasaan sumber daya. Jalan paling efektif kesana adalah melalui kekuasaan. Memegang kekuasaan eksekutif berarti Anda memiliki kontrol atas kekayaan dan sumber daya negara. Agaknya inilah yang menjadi motivasi mengapa kekuasaan harus direbut dan dipertaruhkan seberapa pun harga yang harus dibayar.
Kekuasaan memang sangat menyilaukan dan melenakan. Demi kekuasaan, kita sering tergoda menempuh cara apa pun meski harus menerabas etika dan kepatutan. Aturan main dikangkangi dan kewarasan publik dilecehkan. Kemenangan elektoral menjadi lebih penting, mengalahkan keharusan memenangkan etika dan moral sebagai basis dan pijakan membangun kultur politik yang berkeadaban.
Ujungnya, penyelenggaraan pilpres dan pileg kehilangan ruhnya sebagai media edukasi politik yang mencerdaskan. Pilpres dan pileg tidak lebih dari rutinitas politik belaka yang hampa makna.
Praktik politik menjadi sangat permisif dimana garis pemisah apa yang disebut etis _vis a vis_ tidak etis atau bermoral _versus_ tidak bermoral menjadi semakin kabur. Dan yang terjadi kemudian adalah membiarkannya predator-predator kekuasaan, dan sisi lain semakin sulit menemukan negarawan yang diharapkan menjadi suluh bangsa di tengah konsolidasi demokrasi yang belum sepenuhnya terlembagakan secara mapan.
Kemenangan elektoral menjadi sentrum politik. Namun, kemenangan elektoral yang tidak dibarengi dengan legitimasi moral yang kuat akan mendatangkan kesulitan-kesulitan di kemudian hari.
Bagaimanapun, kemenangan yang diraih secara tidak patut akan menimbulkan dilema nilai ketika berhadapan dengan nalar publik yang kritis. Dan inilah yang kita saksikan hari-hari ini.
Para pendukung Prabowo Gibran menjadi gagap ketika harus menjelaskan atau memberikan argumentasi yang memadai untuk meyakinkan publik bahwa kemenangan Prabowo Gibran merupakan hasil dari proses yang legit dan kredibel dari sisi etika dan moral.
Sehebat dan sepandai apa pun Anda, ketika Anda berada di jalan yang bermasalah, mengambil sisi yang legitimasi moralnya sangat lemah, maka Anda akan mengalami kesulitan dan ‘kelumpuhan’ nalar dalam mempertahankan posisi Anda atau mengajukan pembenaran-pembenaran yang masuk akal.
Demikianlah yang terjadi pada seorang Yusril Ihza Mahendra yang ilmu dan kepakarannya sundul langit hari-hari ini.(**)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Democracy and Pluralism Studies (Cafe Lib) Makassar, Indonesia.