Menu

Mode Gelap
Korban Tenggelam di Pantai Nambo Ditemukan Meninggal Dunia Pembentukan Kaswara: Langkah Awal Kolaborasi Alumni SMP Waara Bupati Bombana Burhanuddin Lantik Sunandar A Rahim sebagai Pj Sekda Tujuh Kapolres di Sulawesi Tenggara Berganti Parah! Masyarakat Ungkap Dugaan Pungli ASDP Lagasa hingga Jutaan Rupiah

Daerah · 11 Apr 2025 08:38 WITA ·

SPBUN Manual, Dua Dekade Nelayan Muna Barat Dirugikan


 SPBU di Desa Tondasi, Kecamatan Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat, masih menggunakan sistem pengisian manual. Foto: Istimewa Perbesar

SPBU di Desa Tondasi, Kecamatan Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat, masih menggunakan sistem pengisian manual. Foto: Istimewa

PENAFAKTUAL.COM – Lebih dari dua dekade sejak pertama kali beroperasi pada tahun 2004, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBUN) di Desa Tondasi, Kecamatan Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat, masih menggunakan sistem pengisian konvensional.

Solar maupun pertalite bersubsidi yang menjadi penopang utama kehidupan ratusan nelayan di wilayah pesisir ini, hingga kini masih ditakar secara manual menggunakan gantang liter, bukan dengan pompa digital standar seperti yang diharuskan oleh Pertamina.

Ironisnya, meski pengelola telah memasang nosel atau alat pengisian otomatis, fasilitas tersebut tidak mendapatkan pengakuan dari Pertamina. Alasannya, nosel dipasang di dalam rumah, bukan di tempat terbuka sesuai prosedur dan standar keselamatan operasional.

Keluhan masyarakat pun terus mengalir. Nelayan yang menjadi pengguna utama SPBUN ini merasa dirugikan akibat takaran bahan bakar yang tidak akurat.

“Kami beli 20 liter, tapi pas dicek ulang hanya sekitar 18 liter yang kami terima. Selisih 2 liter itu sangat terasa bagi kami yang sehari-hari melaut untuk mencari makan,” ujar HE, seorang nelayan, Rabu (9/4).

Ia mengaku terpaksa tetap membeli BBM di lokasi tersebut karena tidak ada pilihan SPBU lain yang dekat dengan tempat tinggalnya.

Masalah ini bukan hal baru. Sistem pengisian manual tanpa kalibrasi dan tanpa pengawasan ketat dari pemerintah maupun Pertamina telah menjadi praktik tetap selama lebih dari 20 tahun. Hingga kini, belum ada langkah konkret untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Penggunaan alat takar yang tidak terstandar diduga melanggar aturan perlindungan konsumen dan tata niaga bahan bakar. Apalagi BBM yang dijual adalah jenis subsidi dari negara, bukan produk komersial.

“Harusnya ada pompa digital atau alat ukur resmi yang terstandar. Ini BBM subsidi, bukan dijual di pasar bebas,” tegas Ibrahim, Ketua Aliansi Mahasiswa Pemerhati Hukum Indonesia (AMPHI).

Ibrahim mendesak pemerintah dan Pertamina bertindak tegas terhadap pengelola SPBUN tersebut. Ia bahkan mendorong agar izin operasional dicabut jika tidak ada perubahan signifikan.

“Kalau terus dibiarkan, masyarakat terus jadi korban. Lebih baik izinnya dicabut, diganti dengan pengelola yang lebih transparan dan bertanggung jawab,” tambahnya.

Dikonfirmasi secara langsung, pemilik SPBUN, Kamran, tak membantah tudingan tersebut. Ia mengakui bahwa pemasangan nosel dilakukan bukan atas petunjuk resmi Pertamina, melainkan karena tekanan dari pemerintah daerah yang menerima banyak protes warga pada tahun 2022 lalu.

“Saya paksakan pasang nosel itu karena ada desakan, padahal saya sudah bilang tidak semudah itu. Tapi setelah dicek Pertamina, ternyata tidak sesuai standar. Jadi tetap kembali ke manual,” kata Kamran.

Kamran menambahkan bahwa pemasangan nosel memakan biaya besar, dan sampai saat ini dia masih memiliki tanggungan utang di bank. Pembangunan SPBU sesuai standar, menurutnya, membutuhkan dana lebih dari satu miliar rupiah, jumlah yang sulit dipenuhi dalam kondisi saat ini.

“Pokoknya saya dapat dana hari ini, saya bangun hari ini juga. Tapi untuk sekarang saya belum mampu. Saya pasrah saja kalau pemerintah mau cabut izin. Itu di luar kemampuan saya,” ucapnya.

Meski telah beroperasi selama dua dekade dan melayani hampir 1.000 nelayan dengan kuota 80 ton solar dan 16 ton pertalite per bulan, tidak ada investasi jangka panjang yang dilakukan untuk membenahi sistem pelayanan.

“Kita mau bangun SPBU sementara biaya besar, jadi seperti sekarang ini belum ada rencana bikin SPBU. Keuntungan juga tidak ada tersimpan. Memang tidak ada rencana untuk ke sana (pembuatan SPBU),” tambahnya.

Hingga kini, nosel yang dipasang Kamran masih berada di dalam rumah, bertentangan dengan regulasi yang mewajibkan instalasi berada di area terbuka dan aman. Sementara itu, para nelayan hanya bisa pasrah menghadapi takaran solar yang tak pernah benar-benar genap.

Jika Pertamina dan pemerintah daerah tidak segera mengambil tindakan tegas, praktik distribusi BBM bersubsidi yang tidak adil dan merugikan masyarakat miskin akan terus terjadi. SPBU nelayan ini bukan lagi menjadi penyelamat, tetapi potensi jebakan struktural yang terus menghisap hak-hak mereka yang paling membutuhkan.(red)

Artikel ini telah dibaca 156 kali

badge-check

Publisher

Baca Lainnya

Mudik Lebaran 2025, Penumpang Kapal di Pelabuhan Kendari Naik 7 Persen

12 April 2025 - 21:07 WITA

SPBU Bahari di Muna Barat Diduga Jadi Sarang Pungli dan Pengisian Berulang

12 April 2025 - 08:56 WITA

Kadis Dikbud Sebut Kepala SMPN 18 Bombana Kurang Merawat Fasilitas

11 April 2025 - 16:19 WITA

Bupati Soroti Kepala SMPN 18 Bombana, Sekolah Kotor dan Kumuh

10 April 2025 - 21:16 WITA

Kasus Pencurian Obat Bius di RSUD Kendari: BEM UHO Minta Tindakan Tegas

10 April 2025 - 17:35 WITA

Berani Bersih Wonuaku: Langkah Nyata untuk Lingkungan Sehat

10 April 2025 - 11:06 WITA

Trending di Daerah