(Sebuah kisah fiksi sastra dan keadilan)
Oleh: La Ode Inta
Pada suatu masa di negeri Nusantara,
dinding-dinding media sosial berselimut duka,
bukan oleh perang, bukan karena bencana,
tapi karena dua sosok sang pelita ilmu (guru),
pahlawan tanpa selempang,
diusir dari ruang baktinya dengan tuduhan yang menusuk jiwa.
Dari ufuk Luwuk Sulawesi Selatan, kabar itu berembus:
Seorang pelita ilmu yaitu kepala sekolah dan seorang guru,
dituduh melanggar karena punya niatan baik, ingin membantu,
menggalang saweran dari orang tua siswa
Demi menyambung hidup seorang tenaga honorer, lalu
niat baik itu yang ditikam oleh aturan yang kaku.
Sayang, hukum tak selalu berjalan dengan hati dan peri kemanusiaan.
Salah satu mantan murid mereka, kini jadi pemimpin sebuah organisasi kemasyarakatan (LSM) telah
melapor dengan wajah dingin ke aparat.
Duhai anak yang selama ini, telah di didik dengan hati namun apalah daya balasannya tak sebaik harapan mereka mungkin bukan karena hasil dari buah hati mereka.
Dan dunia pun memihak hitam-putih aturan,
bukan kelabu niat yang sesungguhnya suci.
Lalu tibalah jeruji besi menjadi sekolah baru bagi sang guru,
dan selembar surat dari Gubernur
menyapu bersih statusnya sebagai abdi negara. Sungguh menyayat hati dari kabar yang tak menyenangkan yakni
Namanya telah dihapus,
pengabdiannya dilupakan,
martabatnya ditanggalkan.
Lima tahun bukan waktu singkat,
namun keduanya memilih bersabar, berjuang dalam diam,
memeluk sunyi, menyulam harap,
meski hukum tak memberi ruang bagi hati yang terluka.
Namun Allah tak tidur,
dan kabar itu pun mengalir
dari desas-desus menjadi berita,
dari berita menjadi sorotan,
hingga viral dan sampai lah ke telinga yang peka, yah kusebut lah beliau sebagai Sang Macan Senayan. Karena begitu kuatnya power beliau ke jantung senayan
Ia bukan presiden, ia bukan jaksa, beliau hanya wakil rakyat
namun di dadanya,
terpatri suara-suara rakyat yang nyaris dilupakan oleh sejarah.
Dengan langkah tenang,
ia bawa kisah itu ke pintu dan meja Istana,
mengantar derita dua sosok sang pelita ilmu (guru) ke jantung kekuasaan.
“Tuan Presiden,” katanya,
“ada dua guru yang tak bersalah, hanya bersalah karena terlalu peduli. Apakah kita akan biarkan nama mereka hilang dari sejarah pendidikan bangsa?”
Dan Istana pun menjawab,
bukan dengan basa-basi,
tapi dengan titah tanda tangan rehabilitasi dari Sang Presiden
Nama mereka dikembalikan,
status mereka dipulihkan,
dan mimbar kelas kembali menjadi tempat mereka berdiri,
bukan jeruji,
bukan stigma.
Kini, kabar bahagia itu berseliweran di media sosial,
menggantikan luka yang kemarin.
Rakyat bersorak,
ucapan selamat datang dari mana-mana,
dan dua sosok pelita ilmu (guru) itu,
kembali menjadi cahaya bagi anak-anak bangsa yang selama ini menantikan kehadiran sosok mereka.
Semua karena satu suara,
satu keberanian,
dari Sang Macan Senayan
yang tak berteriak,
tapi bertindak, beliau bekerja dalam diam dan memberikan jalan keluarnya dengan
menjadi jembatan antara luka dan pemulihan,
antara jerit sunyi dan meja kekuasaan.
Karena terkadang, pahlawan bukan mereka yang bersuara nyaring dan berkuasa,
tapi yang tahu ke mana harus membawa suara.**)











