Memasuki bulan Ramadhan, euforia anak-anak meramaikan masjid di malam hari semakin tinggi. Ini bukan sekedar ibadah, mereka mendatangi rumah Tuhan, melainkan mereka bisa bertemu teman dan main di malam hari tanpa ada omelan dari orang tuanya. Inilah situasi yang mereka tunggu-tunggu setelah seharian mereka mehanan lapar dan haus. Alangkah indahnya, suara kecil mereka menghiasi malam-malam ramadhan di rumah Tuhan.
Namun, kegembiraan mereka tidak bisa mulus hingga akhir bulan ramadhan. Dari beberapa sudut terdengar suara-suara sumbang yang emosional menghardik atau menolak keberadaan anak-anak di masjid. Alasanya, anak-anak menjadikan masjid taman bermain, serta riuknya suara mereka mengganggu dan menghilangkan khusyuk-nya ibadah.
Entah, apakah larangan dan hardikan mereka bersumber dari keteladanan Rasulullah SAW atau dorongan hawa nafsu yang dikemas dengan nama agama, sehingga berani menolak anak-anak di rumah-NYA, serta memberikan bekas hardikan di mental mereka.
Apakah tanpa riuk canda tawa anak, ibadahnya bisa khusyuk. Atau apakah persoalan dia tidak bisa khusyuk karena imannya yang melempem. Kemungkinan terjadilah peristiwa playing victim.
Oleh sebab itu, keimanan dan ke-khusyuk-an itu sendiri harus diuji. Agar kita tahu dan sadar apakah diri kita sudah kuat atau lemah. Jadi, asumsi kuatnya, permasalahannya bukan mengenai canda tawa anak-anak yang ramai di masjid, melainkan dirinya sendiri yang salah hidup. Seharusnya dirinya hidup dalam gua yang tidak ada siapa-siapa melainkan dirinya sendiri. Sehingga tidak ada yang bisa ganggu khusyuk-nya lagi.
Sama halnya, ada seorang atau sekelompok orang yang sok beriman. Mereka melarang orang-orang jualan terbuka dari pagi-siang hingga makan di ruang publik di saat bulan puasa. Sesungguhnya tidak ada masalah orang yang jualan dan makan di ruang publik. Kesalahan sebenarnya terletak di keimanan orang yang melarang tersebut. Dimana iman mereka mudah goyang karena hal-hal sepele seperti itu. Apakah iman yang lemah seperti itu bisa disebut pemegang kunci surga?
Akhirnya, kita akan mengalami kesulitan menyakini kalau polisi itu jujur secara kelembagaan. Karena polisi sudah gagal dari segala ujian. Apakah kita masih ketemu polisi yang dibayar jika ingin lapor barang hilang, bikin SIM bayar polisi, ketilang di jalan bayar polisi. Itulah lirik lagu, band Sukatani.
Saatnya Revolusi…
Penutup, jangan menyalahkan cermin pecah ketika wajah terlihat jelek. Padahal sebenarnya diri kita adalah The Beast.(red)