Oleh: Maolana Moh Sah, S.Psi., M.Si.
“Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit.” – Imam Ali bin Abu Thalib
Trend Bunuh diri, Katanya Kendari Darurat Kesehatan Mental
Tragis, itulah kata yang mewakili perkataan seorang psikolog klinik di media online lokal yang mengatakan Kota Kendari darurat kesehatan mental. Perkataan ini berasal dari kasus bunuh diri di Jembatan Teluk Kendari (JTK) yang terjadi hampir berdekatan. Tapi secara data, kasus seperti itu sudah terjadi sejak tahun 2023 hingga 2025, ada 5 orang yang melakukan bunuh diri. 1 orang yang berhasil diselamatkan, namun 4 orang yang harus berakhir kehilangan nyawa. Tapi, kenapa baru sekarang Kota Kendari dikatakan darurat kesehatan mental.
Secara jujur, perilaku bunuh diri (suicide) di Kendari tidak hanya terjadi di JTK saja. Jauh sebelum itu, Kendari sudah diwarnai dengan kasus bunuh diri. Memang tidak se-viral di JTK. Tapi seharusnya pemerintah, akademisi atau profesional sudah menyadari isu ini meng-global. Apa mereka berpikir Kendari merupakan kota aman untuk kejiwaan?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saja mencatat ada 720 ribu orang meninggal karena bunuh diri setiap bulan di seluruh dunia. Naasnya, 70 persen terjadi di negara berpendapatan rendah dan sedang.
Lebih mengejutkan lagi, Dr. Fidiansjah-seorang psikiatri, dikutip dari Sindonews, mengatakan setiap 40 detik ada satu individu yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Hal ini menggambarkan kalau angka-angka yang tertulis bukanlah sesuatu yang pasti. Kemungkinan besar, angkat tersebut seperti puncak gunung es yang terlihat di atas permukaan lautan saja. Sedangkan kasus-kasus yang tidak dilaporkan, sangatlah banyak, seperti besarnya gunung es yang ada di bawah permukaan lautan.
Pertanyaannya, mau tunggu berapa nyawa lagi yang hilang atau mau tunggu viral dulu agar pemerintah, akademisi atau profesional di Kendari bisa peka terhadap keadaan psikologis masyarakat kota kendari?
Asumsi Penyebab Perilaku Bunuh Diri
Secara geografis, kota Kendari merupakan kota yang sedang berkembang. Dimana tambang, industri atau pengkantoran berkembang biak dengan suburnya, sehingga Kota Kendari secara fisik mengalami perubahan. Sayangnya, hal tersebut dihiasi dengan trend-nya perilaku bunuh diri dalam penyelesaian masalah.
Herannya, beberapa korban kasus bunuh diri tidak memiliki riwayat gangguan mental atau riwayat percobaan bunuh diri. Namun dalam hitungan menit atau hari, korban berani melakukan bunuh diri. Fenemona inilah disebut dengan Suicide Crisis Syndrome (SCC).
Sindrom ini seperti bom waktu, dimana pun bisa meledek dan siapapun bisa dilukai. Oleh sebab itu, para ahli mencoba menerawang penyebab meledaknya bom waktu yang semakin hari semakin membabi buta.
Dikutip dari artikel yang berjudul “Suicide and suicide risk”, sebesar 17-36% perilaku bunuh diri disebabkan oleh heritabilitas-perilaku yang diakibatkan oleh faktor genetik. Namun, dalam penelitian terakhir, para peneliti tidak menemukan gen-gen yang diidentifikasi sebagai aktor besar dari perilaku tersebut.
Malahan, korban yang memiliki keluarga yang pernah mencoba bunuh diri, memiliki kemungkinan lima kali besar melakukan percobaan bunuh diri. Faktor ini disebut dengan imitasi. Beberapa penelitian menyatakan imitasi ini dipengaruhi oleh kepribadian. Menurut Ninik Sunarti, kerpibadian yang berpotensi memiliki ide lebih tinggi adalah kepribadian introvert.
Beberapa penelitian psikologi juga menganggap kalau ganggu kejiwaan, seperti kecemasan, stres maupun depresi sebagai biang keladi yang mendorong individu untuk melakukan bunuh diri.
Ganguan jiwa dan Kepribadian Adalah Fitrah Manusia?
Dari mana gangguan kejiwaan itu berasal. Apakah korban dilahirkan dimuka bumi ini dengan rasa cemas, stres, anxiety, bipolar, borderline personality disorder (BPD), skizofrenia maupun depresi? Ataukah manusia yang dilahirkan di bumi sudah memiliki kepribadian introvert dan ekstrover?.
Durkheim, menjelaskan bahwa keadaan sosial yang bersifat umum, biasanya memiliki kehendak-hendak yang menuntut korban untuk mematuhinya, baik secara sadar maupun terpaksa. Apabila korban tidak bisa memenuhinya, akibatnya korban termarjinalkan, dijauhi, atau menjadi alienasi di tengah-tengah lingkungannya.
Efek sosial inilah yang mendorong reaksi psikologi yang tidak bisa dikendalikan oleh korban sehingga korban mengalami gangguan jiwa seperti stres, depresi hingga tindakan menyakiti atau melukai dirinya sendiri (self harm)
Beberapa ahli juga mengatakan, kepribadian atau gangguan kejiwaan yang dialami oleh individu cenderung terbentuk dari kesulitan kehidupan yang terjadi dimasa lalu atau bahasa kerennya early life adversity.
Beberapa penelitian pun membuktikan jika interaksi sosial tidak berjalan secara seimbang maka akan tercipta ketidak-harmonisan. Sehingga membentuk suatu kepribadian tertentu hingga mengalami gangguan kejiwaan yang mendorong melakukan percobaan bunuh diri.
Oleh sebab itu, Durkheim meyakini bahwa perilaku bunuh diri disebabkan oleh sosial yang tidak bertanggungjawab, tidak harmonis dan sangat individualistik. Sementara gangguan kejiwaan, imitasi, alkoholisme atau bunuh diri hanya merupakan efek dari keadaan sosial tersebut.
Kasus Bunuh Diri Bukan Masalah Personal
Pada umumnya, kasus bunuh diri dianggap sebagai permasalahan personal karena disebabkan oleh diri individu itu sendiri. Makanya individu yang memiliki masalah, stres, atau mungkin depresi disarankan pergi ke layanan psikologi, baik psikolog, ataupun psikiater. Namun, apakah perilaku bunuh diri adalah permasalahan personal?
Menurut Aristoteles, manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dari manusia lainnya. Oleh sebab itu para ahli beranggapan bahwa gangguan kejiwaan yang memicu perilaku bunuh diri disebabkan oleh sosial. Misalnya Tazid, mengatakan perilaku bunuh diri disebabkan adanya permasalahan di integrasi sosial dan regulasi sosial.
Rincinya, Durkheim menjelaskan bahwa rusaknya integrasi sosial dan regulasi sosial diakibatkan oleh isolasi atau diskriminasi sosial, tidak adanya harapan dari sosial, hilangnya peran dalam sosial, dan adanya tingkat kontrol sosial yang berlebihan. Singkatnya, dia membaginya menjadi empat faktor; egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik.
Bahkan para psikologi humanistik menyakini bahwa manusia tidak lahir dengan gangguan kejiawaan ataupun hasrat bunuh diri. Melainkan manusia lahir seperti kertas putih. Diatas kertas itulah sosial menuliskan, membentuk kepribadian dan meninggalkan rasa traumatik, stres, depresi dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, kasus bunuh diri tidak bisa lagi dianggap sebagai permasalahan personal, karena kasus tersebut bukan berasal dari pribadi korban, melainkan karena sosial yang tidak bertanggungjawab, tidak harmonis dan sangat individualistik. Secara gampangnya kasus bunuh diri harus diselesaikan secara bersama-sama (sosial).
Karitatif seperti serigala berbulu domba
Zaman modern ini, upaya untuk meminimalisir gangguan jiwa hingga perilaku bunuh diri sudah dilakukan, baik dari pemerintah, para profesional kejiwaan, akademisi hingga LSM. Namun tindakan yang dilakukan hanya bersifat karitatif.
Karitatif adalah suatu pelayanan (diakonia) yang diberikan kepada korban yang memiliki permasalahan personal. Namun, esensinya pelayanan tersebut tidak memberikan pemecahan masalah hingga ke akarnya, bersifat sementara, bahkan kemungkinan korban dijadikan sebagai income bagi para pemerintah atau oknum profesional.
Karitatif juga berupa motivasi, edukasi hingga nasehat. kesemua itu seperti fatamorgana yang memberikan harapan dan mimpi-mimpi belaka saja. Kenyataannya, sosial tidak bertanggungjawab, korban dipaksa berjuang sendiri untuk menghadapi permasalahan sosial.
Opini ini bukan melarang adanya layanan karitatif atau melarang korban pergi ke klinik psikolog atau psikiater. Namun, membuka mata dan pikiran bahwa pelayanan-pelayanan tersebut bukan suatu solusi yang konkret dalam menghilangkan perilaku bunuh diri di masyarakat. Bahkan, bisa jadi pelayanan tersebut bisa menjadi permasalahan baru bagi korban, seperti ketergantungan korban kepada layanan karikatif profesional sehingga menjadi lingkaran setan tanpa adan ujungnya. ketergantungan ini pasti tidak gratis, karena setiap datang ke profesional, maka permasalah ekonomi akan timbul. Selain itu, obat yang diberikan oleh profesional dapat mengakibatkan efek samping bagi korban.
Oleh sebab itu, diperlukan perubahan secara kolektif diseluruh lini sosial, sehingga menjadi solusi konkret bagi setiap individu yang tersesat dalam kejiwaaannya. Seperti yang dikatakan oleh Durkheim, terciptanya kehidupan keluarga yang sehat, adanya penghargaan sosial, adanya pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengatur keseimbangan social, serta masyarakat yang berakal sehat dapat mencegah terjadinya perilaku bunuh diri pada masyarakat.
Terakhir, semua keputusan ada di tangan kita bersama, baik pemerintah, akademisi, profesional kejiwaan hingga masyarakat. Apakah kita masih memilih diakoni karitatif atau melakukan perubahan secara kolektif ke arah yang baik. Ingatlah perkataan Tuhan “Tuhan tidak mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasibnya sendiri”**)