Menu

Mode Gelap
Parah! Masyarakat Ungkap Dugaan Pungli ASDP Lagasa hingga Jutaan Rupiah Parah! Aktivitas Tambang PT Timah Diduga Cemari Laut di Kabaena Menebak Arah Kasus Supriyani Tepis Isu Amplop Kepala Desa, Ketua APDESI Sultra Bentuk Satgas Anti Money Politik Oknum TNI AL di Kendari Diduga Hamili Kekasihnya, Korban Minta Keadilan!

Olahraga · 3 Mar 2025 13:41 WITA ·

Dominus Litis dan Kewenangan Penegak Hukum


 Ode Muhram Naadu Perbesar

Ode Muhram Naadu

Oleh: La Ode Muhram Naadu (Advokat) 

Koordinasi antar lembaga negara khususnya penegak hukum masih menjadi pekerjaan rumah terbesar pemerintahan sekarang dalam hal reformasi hukum. Terkait hal ini, hubungan antara Penyidik dan Penuntut Umum sering diwarnai perselisihan karena P enyidik merasa mempunyai kedudukan yang setara dengan Penuntut Umum. Di sisi lain, Penuntut Umum mempunyai posisi yang cukup sentral sebagai salah satu gerbang proses peradilan pidana dimana berdasarkan tugas dan wewenangnya Jaksa Penuntut Umum setelah mempelajari dan meneliti suatu berkas perkara yang diajukan oleh Penyidik. Jaksa Penuntut Umum selanjutnya menyimpulkan bahwa apabila alat bukti dalam suatu perkara telah terpenuhi dan sesuai dengan peraturan didalam KUHAP, akan mengajukan penuntutan ke Pengadilan Negeri sehingga Penuntut Umum dipandang mempunyai posisi yang sentral dalam pembuktian suatu perkara di persidangan.

Salah satu prinsip yang dikenal dalam tahap penuntutan yaitu dominus litis,.‘Dominus litis’ berasal dari bahasa latin. Dominus artinya pemilik. Sedangkan litis artinya perkara. Jaksa sebagai  Dominus Listis yang memiliki kewenangan untuk : menentukan apakah suatu perkara akan dilanjutkan ke tahap penuntutan atau dihentikan, mengendalikan proses penuntutan di pengadilan, termasuk pemilihan dakwaan dan strategi hukum yang digunakan, memutuskan apakah akan mengajukan banding atas putusan pengadilan yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Sehingga Jika dimaknai Asas dominus litis, menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain Penuntut Umum yang bersifat absolut dan monopoli. Pasalnya,  Penuntut Umum menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan dalam penuntutan dan penyelesaian perkara pidana.

Berangkat dari pemahaman bahwa dominus litis ialah pengendali perkara, maka sejauh mana tahapan proses pemeriksaan yang dapat dipandang sebagai dominis litis Kejaksaan. Pertanyaan ini merupakan suatu konsekuensi atas fakta bahwa hubungan antara Kepolisian dengan Kejaksaan pada tahapan Penyidikan sebatas koordinasi fungsional.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menerapkan prinsip Dominus Litis atau kewenangan mutlak yang diberikan kepada Instansi Kejaksaan Republik Indonesia dalam proses penanganan perkara pidana meskipun Prinsip Dominus Litis telah diakui secara universal dan tercermin di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara independen.

Wacana terkini, Rancangan KUHP akan mengakomodir Asas Dominus Litis. Hal ini berpotensi merusak sistem penegakan hukum selama ini. Asas tersebut dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara institusi dan lembaga negara, khususnya kepolisian dan kejaksaan. Penerapan asas dominus litis ini mencuat dalam wacana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan dan RKUHAP. DPR telah menyepakati keduanya masuk dalam 41 prolegnas prioritas 2025.

RUU Kejaksaan yang baru memberikan kekuasaan yang besar kepada Kejaksaan Agung, diantaranya menyebutkan Jaksa memiliki kewenangan dalam bidang intelijen, seperti menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum. melalui perluasan kewenangan untuk dapat melakukan penyelidikan justru berisiko menimbulkan tumpang tindih kewenangan yang dimana kewenangan penyelidikan ini secara profesional dan proporsional telah dijalankan oleh polri.

Perluasan kewenangan lembaga Kejaksaan ini melalui Penerapan prinsip yang dikenal dalam tahap penuntutan yaitu dominus litis yang artinya sebagai Pemilik Perkara. asas Dominus Litis diatur di  Pasal 140 ayat (2) KUHAP, serta Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Meskipun Prinsip Dominus Litis telah diakui secara universal tetapi penerapanya didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menerapkan secara mutlak untuk diberikan kepada Instansi Kejaksaan dalam proses penanganan perkara sampai pada tingkat penyelidikan secara umum. Terdapat pembatasan dalam praktiknya yakni asas ini telah diterapkan oleh kejaksaan hanya pada tindak pidana khusus saja seperti penyelidikan tindak pidana korupsi. Kewenangan ini didasarkan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara independen. Sehingga dalam praktenya memiliki pembatasan secara proposional dalam tingkat penyelidikan karena kewenagang penuh penyelidikan dalam UU deberikan pada lembaga Polri sebagai lembaga penegak hukum.

Penambahan otoritas jaksa yang berlebihan ini sangat berpotensi melahirkan lembaga super body dan dapat menjadi celah penyalahgunaan wewenang apabila tanpa adanya mekanisme pengawasan yang cukup. Sehingga tidak terpenuhinya konsep check and balance yang seharusnya menjadi kunci utama mengakselerasikan mekanisme pengawasan dan pengendalian antar-lembaga yang efektif.

Kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan Harus dipisahkan secara proposional sehingga dapat dijalankan secara seimbang dan tidak berlebihan untuk mencegah suatu lembaga yang over power atau menjadi super body diantara lembaga lainya apalagi sesama lembaga penegak hukum.”

Jika kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan tidak dipisahkan dengan jelas, pengawasan terhadap pelaksanaan tugas menjadi sulit dilakukan. Sehingga Prinsip check and balance menjadi lemah dan celah penyalahgunaan wewenang semakin besar hanya akan membuat semakin tidak efektifnya penyelidikan karna terdapat campur aduk wewenang sehingga hanya akan menggagu atau menghambat proses penyelidikan dan penyidikan yang akan dijalankan salahsatu lembaga.

Seharusnya RUU ini harus didasarkan pada prinsip pembagian kewenangan yang proporsional. pentingnya agar setiap lembaga penegak hukum memiliki batasan dan peran yang jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih yang menghambat penegakan hukum sehingga dapat mewujudkan sistem peradilan di Indonesia yang lebih transparan dan akuntabel.

Seyogyanya pemberian kewenangan kepada seluruh struktur kelembagaan di negeri ini harus merujuk kembali ke struktur ketatanegaraan. Struktur keatanegaraan di Indonesia menganut esensi pemisahan kekuasaan (separation of power) yang mana salah satu tujuannya adalah agar lembaga negara tidak saling menegasi peran dan tidak boleh ada lembaga yang superior. Justru desainnya wajib memikirkan bagaimana setiap lembaga negara harmonis dalam rangka mewujudkan cita kehidupan berbangsa dan bernegara. Penerapan Asas Dominus Litis harus diakui dapat memicu ketidakharmonisan antara Kejaksaan dan Polri. Hal ini terindikasi bahwa penguatan peran Kejaksaan melalui Asas Dominus Litis tanpa gambaran yang jelas akan terkesan membuat Polri sebagai “bawahan” Kejaksaan. Notabene proses koordinasi yang terlaksana selama ini tidak terdapat permasalahan yang cukup serius yang harus ditanggapi dengan penguatan Kejaksaan.

Potensi Kelemahan yang terjadi sebagai akibat dari diberlakukannya Dominus Litis dalam RKUHP dan Revisi UU Kejaksaan dapat ditakar menyentuh pada 5 aspek yakni, pertama, potensi penyalahgunaan kekuasaan, kedua, kurangnya perlindungan bagi korban, ketiga, minimnya partisipasi masyarakat, keempat, keseimbangan dalam sistem peradilan dan kelima, kurangnya akuntabilitas.

Pertama, perihal potensi penyalahgunaan kekuasaan, penuntut umum memiliki kewenangan yang sangat luas dalam menentukan apakah suatu kasus akan diproses atau tidak. Hal ini dapat menimbulkan risiko penyalahgunaan kekuasaan, seperti diskriminasi dalam penuntutan atau intervensi kepentingan politik.

Kemudian, kedua, mengenai kurangnya perlindungan bagi korban. Asas ini cenderung mengabaikan hak korban, karena korban tidak memiliki kendali atas proses penuntutan. Jika penuntut umum memutuskan untuk tidak melanjutkan kasus, korban tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk meminta pertanggungjawaban.

Selanjutnya, ketiga, minimnya partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi bahwa Asas dominus litis membatasi peran masyarakat dalam proses penegakan hukum. Masyarakat atau pihak ketiga tidak dapat mengajukan tuntutan pidana secara mandiri, bahkan dalam kasus-kasus yang menyangkut kepentingan publik.

Kemudian, keempat, mengenai ketidakseimbangan dalam sistem peradilan. Asas ini menciptakan ketidakseimbangan antara kepentingan negara dan kepentingan individu. Negara memiliki kekuasaan yang dominan, sementara hak-hak individu atau kelompok sering kali diabaikan.

Kelima, aspek lain yang tak kalah penting adalah kurangnya akuntabilitas. Penuntut umum tidak selalu bertanggung jawab atas keputusan untuk tidak melanjutkan suatu kasus. Hal ini dapat mengurangi transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan pidana.

Rekomendasi

Untuk mengatasi kelemahan asas Dominus Litis, berikut beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan dalam RKUHP. Pertama, penguatan peran korban. Memberikan hak kepada korban untuk mengajukan banding atau upaya hukum lain jika penuntut umum memutuskan untuk tidak melanjutkan kasus. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme right to challenge. Kedua, pengawasan yang lebih ketat. Yakni membentuk lembaga pengawas independen yang bertugas memantau kinerja penuntut umum dan memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan. Ketiga, pengakuan terhadap gugatan pidana oleh masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkenalkan mekanisme citizen lawsuit atau gugatan pidana oleh masyarakat untuk kasus-kasus yang menyangkut kepentingan publik, seperti korupsi atau pelanggaran HAM. Keempat, transparansi dalam proses penuntutan. Hal ini dilakukan dengan mewajibkan penuntut umum untuk memberikan alasan yang jelas dan terbuka atas keputusan untuk tidak melanjutkan suatu kasus. Sifatnya harus aksesibel. Hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik. Kelima, mengenai keseimbangan kewenangan. Hal ini dilakukan dengan membatasi kewenangan penuntut umum dengan memberikan ruang bagi lembaga lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau lembaga khusus, untuk mengambil alih kasus-kasus tertentu.

Untuk memperbaiki RKUHP dan Revisi UU Kejaksaan, perlu dilakukan reformasi yang mengakomodasi kepentingan semua pihak, termasuk korban dan masyarakat, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penuntutan. Tidak boleh ada potensi disharmonisasi antar penegak hukum. Kita semua berharap bahwa RKUHP dapat menjadi instrumen hukum yang lebih adil, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.(**

Artikel ini telah dibaca 45 kali

badge-check

Publisher

Baca Lainnya

Ketua Kick Boxing Sultra Dukung Rencana Pembangunan GOR Khusus Beladiri

23 Januari 2025 - 17:00 WITA

Matangkan Persiapan Porprov dan PON, KONI Sultra Gelar Rakorprov

29 Desember 2024 - 01:38 WITA

Sambut HUT TNI ke-79, Kodim Kendari Gelar Lomba PBB Tingkat SMP dan SMA

28 September 2024 - 11:33 WITA

Respon Kritik dan Masukan, Ketua KONI Sultra Ucapkan Terima Kasih

28 September 2024 - 09:33 WITA

Rajab Jinik Resmi Nahkodai KONI Kota Kendari

4 September 2024 - 10:58 WITA

Two Day Adventure Trail Digelar di Kebun Raya Nangananga Kendari

4 Agustus 2024 - 20:55 WITA

Trending di Olahraga