Sekitar bulan Mei 2022, Kendari menjadi kota yang dihantui aksis teror pembusuran. Tercatat dalam waktu 24 jam, korban teror tersebut sudah mencapai tiga korban.
Alhamdulillah, dengan kehebatan dan aksi heroik kepolisian setempat, teror pembusuran berhasil dihentikan cepat dengan menangkap enam orang pelaku di tempat yang berbeda-beda di Kota Kendari.
Sampai detik ini-setelah saya menelusuri berita terkait kasus tersebut. Saya hanya menemukan bahwa pelaku remaja yang berusia 19, 15, 22, 17, 22, dan 19 tahun. Selain itu, kata Kombes Pol M Eka Faturahman yang saya kutip dari sultrademo.co, mengatakan bahwa motif mereka adalah balas dendam.
Menelisik kasus tersebut dengan mengutip sultrademo.co, motif balas dendam pelaku disebabkan kabar via chat dari teman pelaku yang akan dianiaya oleh seseorang. Motif ini memang masih memiliki keanehan dan ketidaksempurnaan alur penyebabnya. Walaupun Komber Pol, mengatakan pelaku dipenagaruhi narkotika sehingga melakukan pembusuran secara acak (random) kepada warga.
Jika kita bercermin kepada kasus tersebut, maka pertanyaan muncul adalah “Apakah enam pelaku pembusuran merupakan anak-anak yang nakal atau jahat?” Hal ini bukan berarti kita harus mempercayai bahwa motif kasus tersebut seperti yang diberitakan media online adalah final.
Hampir semua manusia meyakini bahwa manusia tidak akan terlahirkan sebagai manusia yang nakal, bodoh atau busuk. Namun anehnya beberapa orang yang berpendidikan dan beragama menyakini mitos-mitos sehingga memberikan pelabelan tersebut kepada sang bayi.
Karena kita fokus kepada kata “Nakal” dan “Kenakalan”. Maka kita harus memisahkan kedua istilah tersebut. Kata “Nakal” yang dikutip dari aplikasi KBBI V diartikan sebagai kata sifat yang menjelaskan seseorang yang tidak penurut dan pengganggu. Sedangkan kata “Kenakalan” berasal dari kata delinquere yang merupakan kata latin dan berarti: terabaikan dan mengabaikan. Menurut Bapak Kartono, kata delinquere tidak hanya berhenti sampai disitu, namun kata tersebut diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pembuat ribut, pengacau atau penteror.
Menimbang pendapat para ahli tentang kenakalan. Kenakalan tersebut biasanya dilakukan oleh usia remaja hingga usia menjelang dewasa. Makanya, di lapangan, kita akan menemukan beberapa preman menjadi “baik” ketika mencapai usia dewasa. Mungkin alasannya bisa kita teliti secara langsung kepada yang bersangkutan.
Bagaimana dengan kata “Nakal” itu? Para ahli menjelaskan bahwa kenakalan seseorang akan mengakibatkan pemberian pelabelan “Nakal” kepada orang tersebut. Jadi bisa disimpulkan bahwa nakal adalah suatu hukuman dari suatu kenakalan.
Apakah kita harus menghukumi seseorang yang melakukan kenakalan dengan memberikan pelabelan “Nakal”? Padahal para akademisi dan agamawan menyutujui bahwa kenakalan seseorang disebabkan oleh lingkungan. Cobalah ingat kembali arti sebenarnya kata delinquere. Sesungguhnya seseorang yang melakukan kenakalan adalah orang-orang yang diabaikan dari lingkungannya. Artinya, orang tersebut adalah korban dari lingkungan dan lingkunganlah yang sebenarnya jahat?
Dalam ilmu psikologi sosial, melakukan penilaian terhadap seseorang berdasarkan perilaku disebut dengan atribusi. Namun tidak semua orang berhasil melakukan atribusi dengan baik. Hal ini disebabkan adanya faktor inhibisi (penghambat) yang melahirkan kesalahan-kesalahan ketika melakukan atribusi. Oleh sebab itu, orang-orang yang suka memberikan pelabelan “Nakal” sebenarnya telah melakukan kesalahan persepsi.
Salah satu kesalahan seseorang melakukan atribusi adalah bias korespondensi. Agar mudah menjelaskan bias korespondensi, penulis akan kaitkan dengan kasus teror pembusuran yang terjadi di Kota Kendari.
Teror pembusuran yang tengah menghebohkan Kota Kendari, membuat warga menjadi resah dan takut keluar untuk melakukan aktivitas di jalan-jalan. Hal ini mengakibatkan beberapa warga menjadi marah dan jengkel, sehingga mereka tidak segan menghujat dan menyimpulkan bahwa perilaku pelaku benar-benar mencerminkan seseorang yang nakal/jahat. Lebih parahnya, penilaian ini tidak berubah sepanjang waktu dan situasi. Padahal latar belakang yang sebenarnya belum diketahui seutuhnya. Hal inilah yang dimaksud dengan bias korespondensi.
Oleh sebab itu, diawal tulisan ini, penulis mengatakan jangan dulu mempercayai motif pelaku yang diberitakan media online. Hal ini untuk menjaga kita dari prasangka atau fitnah. Kita harus mencari tau kebenaran dibalik perilaku teror busur tersebut. Agar kita tau kenapa mereka melakukan demikian dan mengetahui seberapa jahat lingkungan yang membuat mereka meneror Kota Kendari dengan busur.
Perlu diketahui, lingkungan terkadang jahat dan mau menang sendiri. Kita dipaksa untuk berusaha sendiri di tengah kita memerlukan dukungan dan belaian kasih sayang sosial. Terkadang pula kita sendiri menjadi kambing hitam ketika sosial telah memaksa kita untuk menjadi nakal dan jahat.
Memang betul, hanya Tuhan yang bisa membolak-balik hati kita. Namun bukan jadi kita tidak bisa bermohon dan berusaha menciptakan lingkungan baik hati dan berakhlak. Sesungguhnya, timbulnya kesadaran bersama untuk menciptakan kondisi yang humanis dan spritual adalah solusi untuk menjadikan lingkungan bersahabat dalam kehidupan kita. Apakah itu akan berhasil? Hanya usaha dan optimistis yang kita miliki, sedangkan yang lain hanyalah harapan dan doa.
Terima kasih.
Penulis adalah aktivis kita So-Sial