Oleh: Suaibah S.Pd.I.
(Pemerhati Masalah Perempuan)
“Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” Pribahasa ini memberi gambaran kepada kita betapa besarnya kasih sayang ibu kepada anaknya, ia bisa melakukan apapun demi kebahagiaan sang buah hati.
Namun ironisnya, dalam sistem saat ini, kasih sayang ibu mulai memudar, terkikis oleh sulitnya kehidupan yang menghilangkan rasa keibuan. Kewarasan sang ibu sirna ditelan pahitnya hidup.
Sebagaimana yang terjadi di Desa Membalong, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung. Dimana seorang ibu bernama Rohwana alias Wana (38) tega menghabisi bayinya sendiri dengan cara menenggelamkan ke ember berisi air, sesaat setelah dilahirkan.
Setelah sang bayi tidak bernyawa, Wana membuangnya ke semak-semak di kebun milik warga setempat.
Wana mengaku tega membunuh putranya tersebut karena tidak memiliki biaya untuk membesarkannya. Berdasarkan informasi perempuan tersebut sudah memiliki dua anak dan suaminya hanya bekerja sebagai buruh (Kumparan, 24-1-2024).
Peran Individu, Masyarakat, dan Negara
Banyak kejadian serupa, seorang ibu yang tega menghabisi bayinya. Fakta ini membuktikan bahwa beratnya beban hidup dengan kondisi ekonomi yang melilit masyarakat telah mengubur fitrah berupa naluri kasih sayang ibu pada anaknya.
Ibu yang sejatinya orang yang memiliki rasa kasih sayang yang besar terhadap anaknya. Betapa tidak, selama sembilan bulan ibu mengandung dalam rahimnya. Selama itu juga, jalinan kasih telah tertaut antara ibu dengan sang jabang bayi. Kasih sayang ini makin memuncak kala sang anak lahir dan menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga.
Namun, banyak faktor yang menyebabkan seorang ibu tega mengakhiri nyawa anaknya yang dilahirkan. Salah satunya aspek keimanan. Iman yang lemah membuat ibu tutup mata sehingga tidak bisa berpikir jernih. Ia lupa bahwa anak adalah karunia dan sekaligus amanah dari Allah Swt yang harus dijaga dengan baik. Kelak di akhirat, ibu dan ayah akan dimintai pertanggungjawaban atas pengasuhan dan pendidikan sang anak kepada Allah Taala.
Selain faktor keimanan, faktor ketahanan keluarga juga memberikan sumbangsih penting untuk mencegah kejadian ibu menghabisi bayinya sendiri. Keluarga seharusnya menjadi tempat yang nyaman serta mensuport kaum perempuan untuk menjalankan fungsi utamanya, yakni menjadi ummun wa rabbatul bait.
Sayangnya, di bawah naungan sistem kapitalisme, kaum ibu justru digiring untuk turut memikul beban ekonomi keluarga. Akhirnya, anak yang lahir dianggap menambah beban keluarga.
Di lain sisi, masyarakat sebagai kontrol sosial tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sistem kapitalisme menjadikan masyarakat bersikap individualis, mereka sibuk memikirkan nasib diri sendiri dan acuh pada kondisi orang lain. Kerabat dekat dan tetangga abai dan sibuk dengan urusan pribadi sehingga tidak ada empati pada ibu yang kepayahan dengan kehamilannya.
Mirisnya, peran negara yang seyogyanya terdepan sebagai pelindung kaum ibu ternyata perannya mandul. Negara gagal dalam menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Penguasa sibuk membuat janji manis dengan omong kosong tentang pertumbuhan ekonomi, investasi, dan digitalisasi. Sedangkan fakta nampak di depan mata banyaknya kaum ibu berselimut dalam kabut nestapa.
Butuh Pelindung
Realita di atas bukannya tidak dilihat oleh penguasa. Akan tetapi, mereka mencukupkan diri hanya dengan mencatat dan mendatanya, lalu memberi sanksi tanpa solusi. Kepedihan ibu pun makin membuncah. Depresi pasca lahiran, kehilangan anak serta keluarga, dan akhirnya kehilangan kebahagiaan dalam hidup. Duhai, betapa pedihnya.
Sejatinya, peran strategis yang mampu memberi perlindungan kepada kaum ibu adalah negara. Negara harusnya mampu menanamkan keimanan yang kuat pada kaum ibu sehingga ia mampu menghadapi ujian kehidupan tanpa membuat mereka kehilangan harapan pada Allah Taala. Negara adalah pihak yang seharusnya punya aturan untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya, termasuk para ibu. Negara juga yang bisa mensuasanakan masyarakat dan keluarga agar memiliki sikap empati pada keselamatan jiwa dan raga ibu beserta janinyang dikandungnya.
Namun, sangat disayangkan, peran sebagai pelindung itu tidak diimplementasikan oleh penguasa hari ini. Dalam sistem demokrasi kapitalisme , negara tidak menempatkan dirinya sebagai pelindung bagi rakyat. Penguasa justru menghamba pada kepentingan para kapitalis oligarki . Semua prosedur negara dibuat dalam rangka mengemban kepentingan pemilik modal.
Para penguasa disibukkan kepentingan kontestasi demi memperoleh kursi, baik untuk diri sendiri maupun kelompok. Sedangkan jeritan rakyat, bukanlah prioritas sehingga tidak ada upaya mencari solusi hakiki. Akibatnya, kejadian ibu membunuh bayinya akan terus bermunculan bahkan bisa jadi jumlahnya makin meningkat.
Apakah realitas ini akan kita abaikan? Tentu tidak, bukan? Harus ada pembaharuan dalam masyarakat dan negara demi merealisasikan perlindungan bagi kaum ibu.
Islam Memuliakan kaum Ibu
Lain halnya dalam sistem Islam. Islam sangat memuliakan peran kaum ibu dengan lukisan betapa beratnya tugas hamil dan melahirkan yang ditanggung perempuan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْاِ نْسٰنَ بِوَا لِدَيْهِ ۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصٰلُهٗ فِيْ عَا مَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِـوَا لِدَيْكَ ۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Luqman 31: Ayat 14)
Betapa mulianya kedudukan seorang ibu di dalam Islam sehingga ia merupakan kemuliaan yang harus dijaga. Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai benteng yang melindungi kaum ibu dari berbagai himpitan, termasuk himpitan ekonomi. Negara bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan ibu dan anak melalui berbagai prosedur.
Yakni pertama, dari jalur pemberian nafkah . Perempuan tidak dibebankan untuk bekerja. Ia berhak memperoleh nafkah dari suaminya atau walinya. Dengan demikian, ia tidak ikut memikul beban ekonomi keluarga. Dengan prosedur ini, perempuan bisa memaksimalkan fungsi utamanya sebagai Ummu wa rabbatul bait tanpa harus memikul beban untuk menanggung ekonomi keluarga.
Kedua, dukungan masyarakat. Prinsip tolong menolong diutamakan dalam masyarakat Islam. Alhasil, masyarakat yang membutuhkan uluran tangan secara ekonomi, anggota masyarakat lain akan bahu membahu untuk meringankan bebannya dengan memberikan sedekah, menawarkan lowongan kerja bagi kepala keluarga, dan bantuan lainnya yang dibutuhkan.
Ketiga, proseduroleh negara. Santunan akan diberikan oleh negara kepada warga yang terkategori fakir atau miskin. Sebagaimana Kisah Khalifah Umar bin Khaththab yang memikul sekarung gandum untuk seorang ibu yang merebus batu sungguh demikian masyhur. Kisah ini memberi gambaran betapa perhatian Khilafah terhadap nasib kaum ibu.
Sistem Islam memiliki kepedulian terhadap rakyatnya, hal itu bisa diwujudkan karena Islam mempunyai sistem ekonomi dan politik yang mampu merealisasikan kesejahteraan individu per individu. Terwujudnya kesejahteraan secara merata. Sistem ekonomi Islam dengan 12 pos pemasukan meniscayakan negara Islam memiliki dana yang cukup untuk menyejahterakan rakyatnya, termasuk menyantuni fakir dan miskin.
Dengan penerapan islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah, kaum ibu akan sehat lahir dan batinnya sehingga kasih sayang akan tercurahkan untuk anak-anaknya dengan mengasuh dan mendidiknya dengan sebaik mungkin. Inilah pondasi untuk mewujudkan generasi Islam yang kokoh nan tangguh.
Wallahualam bissawab