Menu

Mode Gelap
Menebak Arah Kasus Supriyani Tepis Isu Amplop Kepala Desa, Ketua APDESI Sultra Bentuk Satgas Anti Money Politik Oknum TNI AL di Kendari Diduga Hamili Kekasihnya, Korban Minta Keadilan! Diduga Lakukan Pengrusakan dan Penyerobotan, Warga Desa Tapuhaka Dipolisikan Truck Pengangkut Ore Nikel Milik PT Karyatama Konawe Utara Terbalik

Opini · 21 Feb 2023 11:06 WITA ·

Polemik Gubernur Ali Mazi – Wali Kota La Ode Ahmad Monianse


 La Ode Muhaimin Perbesar

La Ode Muhaimin

Oleh: La Ode Muhaimin

Pasca keluarnya Surat dari Gubernur Ali Mazi Nomor: 133.74/727, perihal “Peninjauan Kembali atas Pemberhentian Roni Muchtar dari Jabatannya Sebagai Sekda Kota Baubau” yang ditujukan kepada Walikota Baubau La Ode Ahmad Monianse, memantik polemik antara keduanya. Media online dan cetak kemudian menyajikan kepada para pembacanya. Polemik ini tidaklah wajar terjadi karena Gubernur-Walikota tentu mengetahui demarkasi wewenangnya masing-masing.

Sementara itu, di satu sisi, polemik tersebut menarik perhatian publik karena Walikota menyatakan penolakan untuk mencabut Keputusan yang sudah ditekennya pasca keluarnya Surat dari Gubernur. Walikota bersikukuh, bahwa Keputusan yang ditandatanganinya memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga tidak dapat dinilai atau ditinjau oleh pejabat lain di atasnya.

Pada sisi lain, Gubernur memiliki kewenangan untuk menilai Keputusan Wali Kota dikarenakan Keputusan yang dikeluarkan Wali Kota menyalahi ketentuan peraturan per-uu-an sebagaimana tercantum dalam Surat aquo. Kewenangan penilaian Gubernur berpijak pada tugas dan wewenangnya sebagai wakil pemerintah pusat.

Pada titik ini, akan diulas kekuatan berlaku dari Keputusan Walikota dan Surat Gubernur, akibat hukum pasca keluarnya Surat Gubernur, dan implikasi yang timbul dari polemik antara Gubernur-Walikota, serta dampak politiknya.

Kekuatan Berlaku Keputusan Wali Kota 

Keputusan Wali Kota yang memberhentikan Roni Muchtar dari jabatannya sebagai Sekda tetap dianggap sah sepanjang belum dicabut oleh pembuatnya (Wali Kota) berdasar asas contrarius actus atau dibatalkan oleh pejabat atasan atau Pengadilan Tata Usaha Negara berdasar asas presumption iustae causa atau asas het vermoeden van rechtmatigheid. Berpegang pada asas ini, Keputusan pemberhentian Roni Muctar masih dianggap memiliki keberlakuan karena belum dicabut atau dibatalkan.

Kendatipun Keputusan pemberhentian Roni Muchtar memiliki keberlakuan secara hukum namun seiring keluarnya Surat dari Gubernur yang menguraikan sejumlah ketentuan peraturan per-uu-an yang dilanggar di dalam Keputusan pemberhentian Roni Muchtar berakibat pada keabsahannya.

Surat Gubernur merupakan keputusan yang menetapkan peninjauan kembali pemberhentian Roni Muchtar. Keputusan tidak memperkarakan bentuk/formatnya melainkan isi/substansi dalam keputusan.

Memo atau nota dinas sekalipun, disebut sebagai keputusan karena memenuhi unsur sebuah keputusan, yakni: dikeluarkan oleh pejabat berwenang, jelas maksud/isi di dalamnya, dan jelas pula kepada siapa ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. Bandingkan dengan pengertian keputusan dalam Pasal 1 angka 7 UU 30/2014, “Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Secara akademik dan yuridis, tidak terdapat perbedaan mendasar dalam hal pengertian Keputusan.

Surat Gubernur sebagai manifestasi dari kontrol internal pemerintahan berdampak pada keabsahan Keputusan Walikota. Sebab, dalam hal pemberhentian Sekda terdapat kewenangan Gubernur berbentuk persetujuan yang mengalir dari peraturan per-uu-an. Tanpa adanya persetujuan dari Gubernur berakibat maka Keputusan pemberhentian Sekda belum berkekuatan mengikat dan berlaku saat dikeluarkan. Dengan kata lain, belum mempunyai kekuatan eksekutorial lantaran masih perlu persetujuan pejabat tingkat atasnya.

Persetujuan di sini adalah tindakan prefentif dari Gubernur untuk mencegah terjadinya pelanggaran administrasi pemerintahan. Administrasi pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (vide Pasal 1 angka 1 UU 30/2014)

Adanya ruang dari Gubernur sebagai pejabat yang berwenang melakukan penilaian mempunyai sandaran, bukan diadakan oleh Gubernur sendiri. Tindakan Gubernur melakukan penilaian sebagai implementasi dari tugas dan wewenang di bidang pembinaan dan pengawasan. Terkait tugas dan wewenang ini bersumber dari Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (1) UU 23/2014. Penjabaran dari kedua pasal ini dapat dilihat dari PP No. 33/2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Perpres No. 3/2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah, dan Permendagri No. 91/2019 tentag Penunjukan Penjabat Sekretaris Daerah.

Kewenangan Gubernur sebagai jelmaan dari pengawasan melebar pula sampai pada pengangkatan Camat oleh Bupati/Walikota yang tidak memenuhi syarat, dapat dibatalkan oleh Gubernur (vide Pasal 224 ayat (3) UU 23/2014). Berlainan dengan pemberhentian Kepala Dinas, tidak membutuhkan persetujuan Gubernur. Dengan demikian, terilustrasi secara nyata bahwa kewenangan Gubernur di samping sebagai Kepala Daerah Otonom juga sebagai wakil pemerintah pusat.

Hubungan Hirarkis Gubernur-Walikota

Pertanyaan utamanya adalah apakah ada relasi hirarkis antara Gubernur-Bupati/Walikota? Menjawab pertanyaan ini musti ditaruh dalam konteks kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, bukan dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah Otonom. Dalam kedudukan sebagai Kepala Daerah Otonom, antara Gubernur-Bupati/Walikota tidak terdapat hubungan hirarkhis. Berlainan dengan kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, hubungan keduanya berada pada jenjang hirarkis.

Jenjang hirarkis antara Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan Bupati/Walikota tercermin dari tugas dan wewenang Gubernur yang diatur dalam UU 23/2014 juncto PP No. 33/2018. Di dalam PP ini diuraikan sejumlah tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Dengan demikian, diperoleh gambaran mengenai hubungan yang berjenjang hirarkis antara Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan Bupati/Walikota. Berbeda dengan rezim UU 22/1999 yang tegas menyatakan tidak ada hubungan hirarkis antara daerah provinsi-daerah kabupaten/kota.

Mengaitkan hubungan jenjang hirarkis Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat-Bupati/Walikota dengan Keputusan Walikota tentang pemberhentian Roni Muchtar dan Surat Gubernur yang mentapkan peninjauan kembali Keputusan Walikota, maka keberadaan Surat Gubernur yang dikeluarkan dalam kapasitas sebagai wakil pemerintah pusat dalam batas penalaran yang wajar diperoleh pemahaman:

a. Surat Gubernur Ali Mazi yang ditujukan kepada Walikota Baubau memiliki kualitas hukum yang mengikat sebagai perwujudan dari hubungan hirarkis keduanya.

b. Surat Gubernur Ali Mazi yang ditujukan kepada Walikota Baubau secara tidak langsung “membatalkan” Keputusan Walikota karena memerintahkan Walikota untuk meninjaunya. Meninjau di sini adalah menyesuaikan dengan peraturan per-uu-an sebagaimana dicantumkan dalam Surat Gubernur aquo.

c. Keputusan Walikota yang memberhentikan Roni Muchtar dari jabatannya sebagai Sekda setelah keluarnya Surat Gubernur dianggap tidak pernah ada oleh Gubernur. Implikasinya, pengisian jabatan Sekda untuk mengisi kekosongannya melalui mekanisme seleksi terbuka tidak dapat dilakukan oleh Walikota Baubau.

Sikap Kukuh Walikota

Terbaca dibeberapa media online maupun cetak, bahwa Walikota La Ode Ahmad Monianse mempertahankan Keputusan pemberhentian Roni Muchtar dari jabatannya sebagai Sekda dengan pertimbangan bla…bla…bla… Sikap kukuh demikian dapat merangsang timbulnya konflik dengan Gubernur. Konflik ini dapat menciptakan ketegangan hubungan antar dua kutub pemerintahan. Konflik semestinya dihindari karena lebih banyak mudharatnya ketimbang kebaikannya. Mencegah kemudharatan lebih baik daripada mengutamakan kebaikannya.

Terlepas dari pilihan antara kemudharatan dan kebaikan dari ketegangan relasi Gubernur-Walikota, pernyataan terbuka Walikota dalam menyikapi Surat Gubernur akan membelah persepsi publik dalam dua segmen. Segmen pertama, menganggap sikap kukuh Walikota sebagai implementasi dari kewenangan absolut yang diberikan oleh peraturan per-uu-an seperti tercantum dalam konsideran “Mengingat” Keputusan pemberhentian Roni Muchtar. Atau dengan kata lain, Walikota dalam kedudukan sebagai PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) dapat memberhentikan Sekda tanpa persetujuan Gubernur.

Sedangkan segmen kedua akan beranggapan, bahwa Walikota tidak patuh dan taat terhadap Surat Gubernur yang menganjurkan untuk meninjau kembali Keputusannya dengan pertimbangan bla…bla…bla… Ketidakpatuhan Walikota akan menyulitkan Walikota sendiri karena tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana dimuat dalam PP No. 33/2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, dapat diterapkan oleh Gubernur. Salah satunya, Gubernur memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 1 ayat (3) huruf b). Urusan kepegawaian adalah urusan pemerintahan yang bersifat penunjang yang berada dalam ruang lingkup pengawasan Gubernur.

Dampak Politik

Pada sub bagian ini, akan diterangkan dampak politik dari sikap kukuh Walikota yang tidak menjalankan anjuran Gubernur sebagaimana termaktub dalam Surat-nya. Dampak politik ini berbentuk ancaman pemakzulan dari jabatan. Penyebabnya bukanlah Surat Gubernur melainkan ketidakpatuhan dan ketidaktaatan Walikota terhadap peraturan per-uu-an yang diuraikan dalam Surat Gubernur ditambah peraturan lainnya yang berkaitan.

Jamak diketahui, pemecatan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terbagi dalam dua klaster: Klaster Pemerintah Pusat dan klaster DPRD. Dalam tulisan ini, khusus mengkaji pemakzulan dalam klaster DPRD (vide Pasal 80 UU 23/2014) karena korelasinya sangat kuat ditunjang jenis pelanggarannya berada dalam ruang lingkup kewenangan DPRD (baca: DPRD Kota Baubau).

Kepatuhan Walikota terhadap peraturan per-uu-an dalam hal pemberhentian Sekda sangat diharuskan untuk ditunaikan. Sebab, produk administrasi negara berbentuk keputusan harus berlandas pada ketentuan peraturan per-uu-an dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Oleh karena itu, ketidaktaatan terhadap peraturan per-UU-an bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dapat diganjar dengan pemakzulan dari jabatannya. Mengapa diperlukan dan dilaksanakan? Karena:

a. Pasal 67 huruf b, dan d dan Pasal 76 ayat (1) huruf g UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah mengharuskan kepala daerah menjalankan tugas dan kewajiban, dan menjauhi larangan bagi kepala daerah; dan

b. Pasal 152 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai landasan utama dan mendasar dalam setiap pembuatan Keputusan.

Bilamana Walikota Baubau tidak menaati anjuran dalam Surat Gubernur maka ia dapat dikalsifikasi telah melakukan pelanggaran Pasal 78 ayat (2) huruf c, d, dan e UU 23/2014. Huruf c berisi pelanggaran sumpah jabatan Kepala Daerah, huruf d berisi kewajiban Kepala Daerah, dan huruf e berisi larangan bagi Kepala Daerah.

Sumpah jabatan Kepala Daerah yang diucapkan sewaktu pelantikan berisi pernyataaan kesanggupan menjalankan peraturan per-uu-an selurus-lurusnya. Bersumpah berdasar keyakinan agama maka sejak saat itu Kepala Daerah wajib mematuhi dan menaati seluruh peraturan per-uu-an termasuk peraturan per-uu-an yang mengatur hal-ikhwal pengangkatan dan pemberhentian Sekda defenitif/pelaksana harian/pelaksana tugas/penjabat Sekda. Tidak ada pengecualian kualitas jabatan Sekda.

Sedangkan kewajiban Kepala Daerah dijalankan sejak selesainya ritual pengucapan sumpah jabatan sampai ia dinyatakan diberhentikan/berhenti dari jabatannya. Kewajiban dimaksud adalah kewajiban untuk menaati seluruh peraturan per-uu-an dan menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan. Maka ketidakktaatan terhadap peraturan per-uu-an yang terkait dengan pemberhentian Sekda dapat disanksi dengan pemecatan.

Sementara larangan bagi Kepala Daerah dimaksudkan agar Kepala Daerah tidak melanggar larangan yang ditentukan agar terhindar dari sanksi pemakzulan. Larangan dimaksud adalah menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya. Pembuatan Keputusan pemberhentian Roni Muchtar yang menyimpangi sejumlah peraturan per-uu-an menguatkan dugaan terjadinya perbuatan melanggar larangan bagi Kepala Daerah.

Adapun prosedur untuk memulai tahapan pemakzulan, DPRD mengajukan pendapatnya kepada Mahkamah Agung melalui mekanisme yang ditetapkan dalam tata tertib DPRD. Pemakzulan merupakan ujian ketaatan seorang pejabat negara termasuk Walikota terhadap peraturan per-uu-an. Di sanalah Hakim MA menguji dan mengadili pendapat DPRD atas pelanggaran yang didakwakan. Selain itu, pemakzulan adalah implementasi fungsi pengawasan dalam kanal khusus karena akhir dari pengawasan khusus ini adalah pencopotan seseorang Kepala Daerah dari jabatannya.

Bertolak dari bahasan di atas, tampak bahwa polemik antara Gubernur Ali Mazi-Walikota La Ode Ahmad Monianse dalam pusaran pemberhentian Roni Muchtar dari jabatannya sebagai Sekda Kota Baubau memperjelas kekuatan dan kelemahan pegangan regulasi antara keduanya yang dituliskan dalam keputusan yang dikeluarkan. Pilihan ada di tangan Walikota Baubau, bertahan pada keputusannya atau menaati dan mematuhi Surat Gubernur. Wallahulalam bishahab!

Penulis: Pengajar Hukum Tata Negara Unidayan Baubau

Artikel ini telah dibaca 259 kali

badge-check

Publisher

Baca Lainnya

Menyongsong Perkembangan Zaman dengan Penguatan Literasi

14 November 2024 - 13:35 WITA

Drama Penganiayaan Di Baito, Menjadi Guru Gampang?

6 November 2024 - 19:03 WITA

Menebak Arah Kasus Supriyani

27 Oktober 2024 - 13:38 WITA

Kepemimpinan Prabowo: Upaya Pemulihan Kepercayaan Publik terhadap Kepatuhan pada Konstitusi

20 Oktober 2024 - 13:16 WITA

Memilih Calon Kepala Daerah yang Dikehendaki Masyarakat

17 Oktober 2024 - 12:28 WITA

Desa sebagai Kunci Penentu Kemenangan Rakyat dalam Pemilihan Gubernur Sultra

16 Oktober 2024 - 12:53 WITA

Trending di Opini