Oleh: Maolana Mohammad Sah, S.Psi., M.Si.
“Saya tidak punya teman di kampung halaman dan saya selalu berada dalam tekanan untuk sukses secara finansial sesegera mungkin. Hal itu membuat saya malu untuk pergi keluar rumah. Maka dari itu saya memutuskan menjadi hikikomori,”
(Dikutip : www.kompas.com-Belajar Menikmati Berdiam Diri di Rumah seperti Hikikomori di Jepang)
Kutipan di atas adalah potongan cerita kehidupan Nito Souji yang menghabiskan waktu hidupnya selama 10 tahun di rumah saja. Fenomena ini dikenal dengan hikikomori.
Hikikomori mulai terkenal di tahun 1998 dalam buku “Hikikomori: Adolescence without End” karya seorang terapis dari kota Funabashi, Jepang yang bernama Saito Tamaki.
Saito memperkenalkan hikikomori atau shakaiteki hikikomori (ing:social withdrawal; ind:penarikan sosial) sebagai tindakan menjauhkan diri dari masyarakat dan menghindari kontak dengan semua orang selain keluarga sendiri.
Saito mengatakan individu yang mengalami hikikomori biasanya berumur dua puluhan dan melakukan tindakan menjauhi diri selama enam bulan atau lebih.
Saito juga mengungkapkan bahwa hikikomori menyebabkan terjadinya beberapa gejala yang dapat terjadi pada diri individu. Beberapa gejala yang mungkin terjadi ketika individu melakukan hikikomori, yakni: kelesuan dan sikap apatis; memiliki rasa takut pada orang lain; memiliki gangguan obsesif komplusif; insomnia; perkembangan psikologi yang regresif; sikap agresif; pikiran depresi; hingga keinginan untuk bunuh diri.
Lanjutnya, Saito mengatakan bahwa hikikomori biasa disamakan dengan social phobia atau avoidant personality disorder. Jadi biasanya individu-individu yang mengalami hikikomori dibawa ke ahli kejiwaan untuk melakukan pengobatan, seperti terapi, konseling maupun harus mengkonsumsi obat-obatan. Namun mungkin dari beberapa kasus individu yang melakukan pengobatan masih mengalami kesulitan untuk kembali normal, apalagi ketika keadaan lingkungan yang kurang mendukung.
Hikikomori bisa terjadi di segala sisi kehidupan kita, baik sisi keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, politik, atau budaya. Agar lebih terfokus, tulisan ini hanya menyinggung kasus hikikomori kepada sisi pendidikan dulu.
L. Saunders (2008) mengatakan bahwa hikikomori yang berpusat pada lingkungan sekolah disebabkan oleh penolakan sekolah (school resufal) atau dalam bahasa Jepang adalah toukoukyohi. Tapi school resufal bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, karena pasti kita akan bertanya, kenapa siswa bisa mengalami school resufal atau apa yang menyebabkan siswa menolak untuk ke sekolah?
Mari melirik tiga kasus yang terjadi di dunia pendidikan. Pertama; Catatan duka-cita yang ditulis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) diakhir tahun 2021 di www.suara.com, menunjukkan antara 2 Januari – 27 Desember sudah terjadi 18 kasus kekerasan seksual pada anak di dunia pendidikan.
Kedua; pada tahun 2022, terdengar kabar di media online www.medcom.id, seorang guru di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, menghukum belasan murid yang ribut di kelas dengan memakan sampah plastik. Ketiga; tuntutan pretasi mengakibatkan terjadinya depresi hingga bunuh diri.
Kasus-kasus di atas merupakan fenomena yang menyebabkan terjadinya ketakutan yang luar biasa dan tidak masuk akal pada siswa ketika memikirkan sekolah atau ingin berangkat ke sekolah. Redaksi ini adalah gambaran tentang School phobia menurut Nucke Yulandari, S.Psi, M.Psi., Psikolog (www.acehnew.net.). Lanjutnya, ketakutan inilah yang menyebabkan siswa berkeinginan untuk tidak bersekolah. Keinginan ini bisa disebut dengan school resufal.
Perlu diketahui School phobia merupakan bagian dari social phobia yang kecemasan atau ketakutannya hanya berfokus pada lingkungan sekolah saja. Jadi apakah school phobia bisa disamakan dengan hikikomori? Semua tergantung pada persepsi pembaca.
Biasanya siswa yang mengalami school phobia mendatangi ahli kejiwaan untuk mendapatkan pengobatan seperti; terapi, konseling atau mengikuti seminar-seminar motivasi yang dapat menumbuhkan kepribadian yang positif pada diri mereka. Misalnya, menumbuhkan kepercaya diri positif, konsep diri yang positif atau yang lainnya. Pada intinya, mereka yang mengikuti hal tersebut berharap tidak mengalami school phobia lagi, sehingga bisa menjalani kehidupan normal di sekolah.
Di kasus lain, siswa yang mengalami school phobia yang serius diharuskan mengkonsumsi obat-obatan. Biasanya bertujuan untuk mengurangi kecemasan dengan cepat, mengatasi depresi dengan cepat, atau mengatasi gejala fisik – jantung berdebar, misalnya.
Ternyata permasalahan ini tidak berhenti di situ saja. Walaupun siswa tersebut sudah melakukan pengobatan kepada ahli. Pada kenyataannya mereka harus kembali pada kehidupan yang sebenarnya, di mana mereka harus berhadapan kepada lingkungan yang tidak memperdulikan mereka atau lingkungan yang melakukan bullying kepada mereka, misalnya. Kondisi ini biasa disebut dengan social rejection.
Lingkungan yang Social rejection inilah yang membuat individu kembali digerogoti dengan ganguan kejiwaannya, sehingga memaksa individu harus kembali lagi ke ahli kejiwaan untuk melakukan pengobatan.
Gambaran fenomena di atas adalah rutinitas individu dalam mengisi kehidupannya untuk mencari solusi terhadap gangguan kejiwaan yang dialami. Tapi sayang, secara tidak sadar rutinitas tersebut memaksa individu harus masuk ke lingkaran yang tidak memiliki ujung. Penulis akan menggambarkannya agar pembaca bisa mengerti.Gambar ini menunjukkan rutinitas yang dilakukan oleh individu yang bermimpi untuk terlepas dari gangguan kejiwaan. Tapi kenyataannya, mereka hanya berputar-putar pada satu rutinitas yang tidak memiliki solusi terakhir (Vicious circle). Inilah fenomena personal problem yang menjadi sangkar untuk mengurung individu bersama penderitaannya.
Tulisan tentang “Toxic adalah Personal Problem atau Social Problem” yang diterbitkan oleh www.penasultra.com, telah menjelaskan sedikit tentang personal problem. Pada intinya, personal problem merupakan beban/masalah yang dimiliki oleh individu dianggap sebagai kesalahan individu itu sendiri. Hal ini menimbulkan sikap self blame. Sikap ini adalah sikap yang menyalahkan diri sendiri dan menjadi sangkar untuk mengurungnya dalam Vicious circle.
Self blame menyebakan segala pengobatan yang diterima dari ahli akan terhapus atau terbantahkan jika menemukan lingkungan yang tidak mendukung. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa objek permasalahan ada pada diri individu, sedangkan pada dirinya sendiri masih terperangkap pada pertarungan antara dirinya dengan sosial.
Akhirnya, individu tersebut tidak menyadari bahwa kesalahan ada kepada sosial, malahan individu tersebut mecoba melakukan self healing. Tapi menurut penulis, self healing adalah pintu masuk pada masalah yang tidak berujung.
Rutinitas ini ibaratnya seperti individu yang terperangkap di dalam labirin yang tidak memiliki jalan keluar. Apakah harus menyerah menghadapi fenomena ini dan meyakini inilah takdir Tuhan? Kita pun bertanya, kenapa kita bisa terjebak dan siapa yang menjebak kita di labirin itu? Ini seperti teori konspirasi yang memunculkan sikap pesimis.
Saya tutup tulisan ini dengan mengingat kembali film “Joker” pada tahun 2019 yang dibintangi oleh Joaquin Phoenix. Dia berperan sebagai Arthur Fleck yang selalu di-bully oleh lingkungannya, akhirnya dia harus mengkonsumsi obat-obatan. Tapi sayang, obat itu tidak bisa membantu dia untuk bertahan terhadap hantaman sosial. Akhirnya dia memutuskan memilih menajdi Joker yang antagonis.
Pada dasarnya, menjadikan sosial sebagai objek untuk mencari solusi terhadap masalah kemanusiaan, khususnya kejiwaan merupakan perubahan dari personal problem menuju social problem. Maksudnya, meninggalkan self blame dan melakukan perubahan pada sosial ke arah positif dapat memberikan pintu untuk keluar dari labirin. Akhirnya personal problem tidak dapat mengurung kita lagi.
Penulis sudah menyinggung sedikit apa itu social problem di tulisan yang lain. Jadi tulisan ini dicukupkan sampai sini, karena fokus tulisan ini hanya mengungkapkan personal problem bagaikan sangkar penderitaan dalam kehidupan kita yang tidak mempunyai solusi.
Penulis adalah Dosen Jurusan Psikologi Universitas Halu Oleo Kendari